ALINEA - ANTON SUPRAYATNA

Gimik Berbahasa Selama Pagebluk Pandemi

Pendidikan | Minggu, 18 Oktober 2020 - 10:42 WIB

Gimik Berbahasa Selama Pagebluk Pandemi
Anton Suparyanta


Berbahasa terjangkiti pagebluk. Kata-kata tersangkut pagebluk. Karakter ujaran seseorang berujung pagebluk. Terjadilah pagebluk kata-kata. Bertebaranlah gimik kata-kata karena pagebluk. Seronok nian pagebluk pandemi Covid-19!

Apa tuaiannya? Mengapa kaum penggagas bangsa lupa semiotika?


Mulailah dari tendens WHO yang memajang #jagajarak karena Covid-19. Tagar ini menjangkitkan istilah jaga jarak fisik (physical distancing) dan jaga jarak sosial (social distancing). Inilah benih gimik kata bermula.

#jagajarak ibarat sekeping mata uang. Dua frasa jaga jarak ini membuncahkan jarak liyan tentang kelisanan yang tidak tersentuh. Muncullah gimik kata ala pragmatik, yaitu jaga jarak berbahasa (lingua distancing). Asingkah kemunculan istilah lingua distancing ini? Kontak fisik dan kontak sosial cakap diatasi dengan prinsip protokol yang nalar. Akan tetapi, kontak berbahasa terutama kontak kelisanan cenderung menegasikan etiket tuturan santun. Emosi lepas kendali.

Para intelektual alpa tentang tindak tutur. Bolehlah sedikit paham tentang recehan pragmatik: tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Ariflah jika ketiga tindak tutur ini dihela. Awak Melayu bilang “tinggi budi bahasanya”. Orang Jawa bilang “njawani”. Manusia Indonesia raya bilang “karakter ambyar”. Betapa tidak!

Banyak tunggangan kepentingan sengaja didorong demi mencipta suasana haru biru, keruh, ricuh, ataupun kaos. Ricuh elite politik, punggawa negara, pemangku kuasa, intelektual muda, dan kaum netizen terjebak debat kusir secara berbahasa. Mereka abai terhadap jaga jarak kelisanan. Mereka menampik istilah lingua distancing. Pencitraan mereka hancur gegara hilang hela berbahasa. Berbahasa adalah cermin berbangsa justru menjadi tamsil lapuk dan rapuh. Sungguh kontradiktif, bukankah frasa lingua distancing seyogianya menjadi pencerah ketegangan?

Meretas Lingua Distancing

Serangan Covid-19 yang mondial sungguh menghunjam urat nadi aktivitas berbangsa, bernegara, dan ber-Pancasila. Tak sedikit komitmen integritas berbangsa dibuat ambyar. Segalanya nyaris lumpuh dari ukuran skala gerak jarak fisik, sosial, bahkan hingga cara berbahasa yang buruk dan busuk. Tak pandang bulu dari negarawan, birokrat, politisi, hingga rakyat jelata.

Tiliklah segera. Nilailah perangai anak bangsa dari tiga etiket simpel ini: physical distancing, social distancing, dan lingua distancing. Sungguh ringkih taraf kearifan ataupun wawasan berpikir. Nyali ciut dan cupet bernalar waras. Ambisi, emosi, dan nafsu kuasa merajalela. Masih terngiangkah #damaiCovid-19 (seruan Jokowi) dihantam #perangCovid-19 (cetusan JK) yang diluncurkan dua kubu penggagas bangsa? Masih ingatkah #indonesiaterserah yang dikobarkan para tenaga kesehatan, medis, terutama seorang dokter dari Solo?

Perang tagar pun pecah. Klimaksnya membuncah karena dipicu begitu dangkal kesadaran pemikiran dan kendali nafsu diri. Begitu sumir dadakan berbahasa. Alih-alih, butir-butir etiket Pancasila cakap menengahinya? Kita semua gagal paham memaknai #indonesiaberserah. Seberapa vitalkah makna antara kosakata “terserah” dan “berserah”?

Kembali Indonesia menjadi negara gerah. Alih-alih, bersiteganglah kembali antara gimik berbahasa. Lagi-lagi, kasus lingua distancing menjadi taruhannya, yakni gimik herd immunity dengan new normal. Serbasalah berujar. Herd immunity yang berkonsep daya tahan hidup karena seleksi alam justru dipandang remeh “hidup terserah, mati terserah”. Dalam tuturan bahasa Jawa justru lebih sarkastis lagi, “urip karepmu, modar karepmu”. Mengapa sengit terjadi sengketa berbahasa? Adakah roh kearifan lingua yang punah?

Membangun Gimik Karakter
Wacana laris untuk konteks bangsa kali ini yakni kembali mengulik gimik kata karakter sakti. Karakter digosok agar wingko katon kencono, bukan kencono katon wingko. Mengutip gimik tuah Ir. Soekarno, elan vital ’roh’ berbangsa harus ’dibangun-bangunkan, dibangkit-bangkitkan, dan dihidup-hidupkan’ kembali. Betapa tidak?

Gejala ini jauh hari telah diungkap Thomas Lickona (seorang profesor pendidikan dari Cortland University). Lickona merumuskan 10 (sepuluh) tanda zaman yang menggila. Ancaman ini harus sadar diwaspadai karena dapat mengusung bangsa menuju jurang kehancuran.

Kesepuluh ancaman itu adalah 1) peningkatan kekerasan atau banalitas di kalangan remaja atau masyarakat; 2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk atau tidak baku; 3) pengaruh peer group (geng) dalam tindak kekerasan semakin tidak terkendali; 4) peningkatan perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; 5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; 6) penurunan etos kerja; 7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; 8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok; 9) membudayanya kebohongan atau ketidakjujuran; serta 10) adanya rasa saling curiga dan kebencian antarsesama.

Jika kita benturkan ke kiprah bangsa, ternyata banyak hamparan contoh kasus yang mencolok mata. Kasus itu pun transparan menyembelih karakter. Tidak pandang bulu dari kaum elit wakil rakyat (punggawa negara), golongan pejabat, pendidik, pengajar, pengusaha, penegak hukum, ulama, tokoh masyarakat, hingga para pelajar yang digadang-gadang sebagai tunas bangsa; justru dikebiri lebih dini. Sayang, barisan intelek dan cendekia bangsa diberangus, ditutupi gimik berbahasa. Dampaknya diperparah oleh keteladanan nasional yang diamuk krisis. Kepemimpinan negara hilang wibawa. Karisma bangsa sengaja disingkirkan. Hampa penghargaan. Pembiaran prestasi.

Perilaku menyimpang ini pun menerpa penegak hukum, pejabat, dan pendidik. Antisipasinya, pemerintah terlambat menggagas pemberlakuan pendidikan karakter di seluruh jenjang pendidikan. Menganggapnya remeh.

Oleh karena itu, fakta kolektif kita gagal menjadi insan manusia terdidik di tengah pusaran hidup yang mondial ini. Utopis melap-lap membangun karakter bangsa yang dijiwai kebinekaan. Kita gagal mengapresiasi diri karena miskin integritas, miskin kepribadian, dan telanjur malu buat becermin. Negara kita kehilangan kemauan untuk menaati hukum dan peraturan.***

*) Anton Suparyanta, editor di PT Penerbit Intan Pariwara, Klaten-Jawa Tengah









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook