PANGKALANKERINCI (RIAUPOS.CO) -- Eksekusi lahan hutan milik negara oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau dan Pemkab Pelalawan ditunda pada Senin (13/1) lalu. Meski begitu masyarakat yang tergabung dalam Koperasi Gondai Bersatu dan Sri Gumala Sakti di bawah binaan PT Peputra Supra Jaya (PSJ) masih tetap bertahan menduduki lahan tersebut. Aktivitas di lahan itu terlihat sepi, namun belasan spanduk dan 40 tenda masih memenuhi lokasi.
Ketua Koperasi Gondai Bersatu Rosidi Lubis mengatakan, mereka tidak akan surut dan mundur untuk meninggalkan lahan kebun sawit yang telah mereka tanam sejak tahun 1996 .
"Apalagi lahan ini merupakan tanah ulayat leluhur kami," terang Rosidi Lubis kepada Riau Pos, Rabu (15/1).
Dikatakan Rosidi, di lahan seluas 3.323 hektare ini sebanyak 700 kepala keluarga (KK) menggantungkan kehidupan dari hasil penjualan sawit. Di mana dari jumlah luas lahan tersebut, masing-masing KK memiliki lahan 1 kapling atau seluas 2 hektare.
"Artinya dari lahan seluas 3.323 hektare ini, seluas 1.723 hektare di antaranya kebun sawit (plasma) kami. Sedangkan sisanya seluas 1.600 hektare merupakan lahan (Inti) PT PSJ selaku bapak angkat kami dalam pola KKPA. Jadi, bagaimana pun juga akan tetap mempertahankan lahan kami ini hingga titik darah penghabisan," paparnya.
Sementara itu Estate Manajer Kebun PT PSJ Toni Malayadi bersama Humas Saputra Hidayana menambahkan, pihaknya telah memiliki izin sah dari Kementerian Perkebunan untuk mengelola lahan kebun sawit tersebut. Di mana lahan ini dilakukan dengan sistem pola kemitraan KKPA bersama Koperasi Gondai Bersatu dan Sri Gumala Sakti.
"Jadi, ada plasma pasti ada inti. Artinya, kami dari PT PSJ bersama mitra kami Koperasi Gondai Bersatu dan Sri Gumala Sakti, akan terus berjuang agar lahan ini tetap dapat kami kelola. Dan dalam perselisihan ini, kami melalui kuasa hukum telah mengajukan peninjauan kembali (PK) dan telah diterima oleh pihak PN Pelalawan untuk diteruskan ke MA (Mahkamah Agung, red)," bebernya seraya memutus pembicaraan melalui selulernya.
Di tempat terpisah, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pelalawan Nophy Tennophero Suoth SH MH menjelaskan, pihaknya telah menyerahkan putusan MA tersebut kepada DLHK Riau untuk dilakukan eksekusi. Sedangkan dalam hal ini, pihaknya hanya sebagai pendamping untuk membantu DLHK Riau.
"Jadi posisi kami di sini hanya sebagai pendamping. Sedangkan tim eksekusinya DLHK Riau," imbuhnya.
Diungkapkan Kajari, dalam putusan MA tersebut, PT PSJ dinyatakan tidak memiliki izin mengelola lahan di kawasan yang terjadi sengketa tersebut. Yakni seluas 3.323 hektare. Pasalnya, dalam putusan MA itu, lahan tersebut merupakan areal konsesi PT Nusa Wna Raya (NWR) selaku pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) dari Kementerian LHK.
"Dan dengan keluarnya putusan MA tersebut, maka tim DLHK Riau akan melakukan pemulihan kawasan hutan. Karena di areal ini adalah kawasan hutan negara dan dirampas untuk negara melalui Dinas Kehutanan C/q PT Nusa Wana Raya selaku pemegang izin dari Kementrian DLHK. Artinya, lahan kebun sawit ini akan ditumbang dan akan kembali diganti dengan tanaman hutan atau kayu yang akan dikelola PT NWR. Sedangkan keputusan MA ini merupakan keputusan final yang sudah inkrah dan tak bisa diubah atau dibatalkan," ujarnya.
Ditambahkan Nophy, dalam Keputusan MA itu juga disebutkan, PT PSJ diberikan denda sebesar Rp5 miliar ditambah dengan kebun kelapa sawit seluas 3.323 hektare diambil oleh negara dan dikembalikan kepada PT NWR selaku pemegang izin Kementerian LHK.
"Jadi dalam masalah ini, tugas kami adalah mengejar penagihan denda yang diberikan MA kepada PT PSJ sebesar Rp5 miliar. Dan saat ini, kami masih melakukan koordinasi dengan PT PSJ agar dapat melaksanakan kewajibannya membayar denda tersebut. Intinya, kami minta PT PSJ harus patuh dan tunduk pada hukum negara dengan melaksanakan putusan MA tersebut," tutupnya.
Pertanyakan Tertundanya Eksekusi
Ketua Umum Forum LSM Riau Bersatu Ir Robert Hendrico mengatakan, berdasarkan hasil keputusan yang dikeluarkan MA Nomor 1087/Pid.Sus.LH/2018 yang dikeluarkan pada tanggal 17 Desember 2018 lalu, maka dengan dasar keputusan tersebut sudah dinyatakan dengan tegas agar seluruh lahan yang disengketakan itu harus dikembalikan kepada negara tanpa terkecuali.
"Tentunya hal ini dari awal sudah dapat terdeteksi atas pelanggaran tersebut mengingat kita memiliki Dinas LHK dan polisi kehutanan serta Dinas Perkebunan di Riau. Sayangnya instansi tersebut tidak sepenuhnya melaksanakan tugasnya dengan baik. Padahal anggaran dana buat penjaga hutan dan melestarikannya tidak sedikit setiap tahunnya," ucapnya.
Selain itu, saat pembacaan SK MA di lokasi dan rencana eksekusi tersebut dilaksanakan dan berlangsung di tanggal 13 Januari 2020 lalu, Sekretaris Umum Forum LSM Riau Bersatu yang juga hadir pada saat itu merasa heran. Pasalnya setelah pembacaan keputusan tersebut, entah mengapa eksekusi tersebut gagal dilaksanakan padahal di lapangan sudah lengkap tim eksekusi dari unsur pemerintah kepolisian Kejaksaan TNI ormas dan tokoh masyarakat lainnya untuk melaksanakan eksekusi tersebut.
"Ini ada apa ? Mengapa kita harus takut pada pelaku kejahatan perusak hutan yang justru secara nyata telah terbukti merusak hutan kita," ujar Robert.(amn/ayi)