WEBINAR SERI 3 KEMENKOMINFO DI PEKANBARU

Mendulang Klik tanpa Konflik

Pekanbaru | Jumat, 28 Mei 2021 - 11:23 WIB

Mendulang Klik tanpa Konflik
Kemenkominfo RI mengadakan webinar series III Cerdas Berdemokrasi mengangkat tema Jaga Berita, Jaga Cinta, Jaga Indonesia di Hotel Pangeran, Pekanbaru, Kamis (27/5/2021). (DEFIZAL/RIAU POS )

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Rutinitas seorang jurnalis di masa pandemi Covid-19 berhadapan dengan infodemik yang melimpah ruah di tengah masyarakat.

Produk jurnalistik sering kali malah tidak mendapat perhatian dari masyarakat yang terlanjur kebanjiran informasi yang tidak berdasar, namun menyebar dengan cepat, dan menciptakan ketidakpastian."Jurnalis dituntut untuk setia kepada data, fakta, dan peristiwa sehingga berita yang dihasilkan dapat menjernihkan informasi dan memenuhi hak masyarakat untuk tahu,"kata Mayong Suryo Laksono, anggota Dewan Pengawas LKBN Antara dalam Webinar Series 3 Cerdas Berdemokrasi dengan tema "Jaga Berita, Jaga Cinta, Jaga Indonesia"di Pekanbaru, Riau (27/5).


Pada webinar kali ini, lanjutnya para jurnalis juga diingatkan bahwa fakta dan peristiwa itu sakral namun tidak semuanya secara serta merta dapat disalurkan kepada masyarakat. Misalnya berita konflik sosial memerlukan kehati-hatian dalam meliput, menulis, dan melaporkan demi menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia.

Kegiatan webinar ini diselenggarakan oleh Direktorat Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan, Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan menghadirkan sejumlah pembicara lainnya yaitu Dwitri Waluyo Redaktur Pelaksana Portal Berita Infopublik.id, Heru Margianto Redaktur Pelaksana Kompas.com, dr Emrus Sihombing Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan dan dimoderatori oleh Algooth Putranto Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi.

"Di masa pandemi ini, banjir informasi tidak dapat dihindari masyarakat sehingga muncul istilah infodemik. Ini sangat berbahaya karena infodemik itu simpang siur dan tidak ada pihak yang dapat bertanggung jawab,"kata Dwitri.

Jika informasinya mengambil dari media mainstream, Dwitri melanjutkan, dapat terpercaya karena berita diproduksi melalui kerja jurnalistik yang baik dan benar, tentu di dalamnya ada pencarian data, fakta serta melakukan verifikasi. Ini berbeda dengan infodemik yang tak jarang diperlakukan masyarakat dengan sekedar menyebarkan, hanya baca judulnya, tapi tidak baca isinya, langsung share. 

"Padahal tidak semua informasi itu memuat kebenaran, justru yang banyak beredar adalah hoaks"kata Dwitri.

Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada kurun waktu Januari sampai Mei 2021, terdapat 1.606 hoaks yang dideteksi.

 "Hoaks yang banyak itu disebarkan melalui berbagai platform seperti Facebook, Instagram, Twitter dan YouTube, termasuk WhatsApp group, sehingga beranak pinak,"katanya.

Pada kurun waktu tersebut, Kementerian Kominfo terus mengidentifikasi hoaks dan menerima laporan dari masyarakat. "Setidaknya sudah ada 113 kasus yang masuk ke ranah hukum,"katanya.

Mendulang Klik tanpa Konflik

Media online sering dituduh sebagai aktor amplifikasi infodemik. Hal ini disebabkan karena kinerja media online kebanyakan membutuhkan klik dari pembaca sehingga lalu lintas website tinggi dan dapat mendulang iklan sebagai pendapatan utama.

"Media online dapat mendulang klik tanpa berita konflik, tanpa menciderai kemanusiaan, tanpa merusak bangsa dan negara Indonesia,"kata Heru Margianto.

Kuncinya, lanjut Heru, adalah membuat berita yang clickable namun bukan clickbait. Clickable adalah berita yang berdaya klik sehingga beritanya dibaca sedangkan clickbait adalah berita yang membohongi audiens dengan tujuan semata-mata mendapatkan klik.

"Dalam perspektif ilmu komunikasi, secara sederhananya, jika berita tidak diklik maka pesannya tidak akan sampai. Maka si pembuat artikel atau berita gagal sebagai komunikator,"kata Heru. 

Salah satu teknik agar berita menjadi clickable adalah pemilihan kata kunci pada judul dan badan berita. Dicontohkan, penulisan nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak berlaku di media online karena masyarakat mengetik di mesin-mesin pencari sebagai SBY.

Fenomena clickbait terjadi karena pembuat artikel hanya membutuhkan klik meskipun harus membohongi target audiens. Hal ini juga berimbas di media online yang kini gemar mengambil sumber artikel dari trending topic media sosial tanpa melakukan verifikasi. 

"Dalam konteks infodemik, seyogianya jurnalis dengan medianya memainkan peran sebagai penjernih informasi dengan ketrampilannya dalam membuat berita yang berdaya klik,"tegas Heru.

Disampaikan oleh Emrus, fungsi informasi adalah mengurangi ketidakpastian sehingga peran jurnalis di ruang-ruang publik menjadi penting. "Apa yang diberitakan akan menentukan perilaku masyarakat,"kata dosen ilmu komunikasi UPH ini.

Realitas sosial, lanjutnya, pada kenyataannya dibentuk oleh pola-pola komunikasi masyarakat. Berita diproduksi jurnalis dan disebarkan melalui media-media mainstream. 

"Jurnalis dapat merawat Indonesia dengan menulis berita yang sesuai kaidah jurnalistik,"katanya.(def/van)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook