ADILI Para Pembakar Hutan! Begitu bunyi Jati Diri Jawa Pos kemarin (16/9) selaksa seruan yang menggugat makna negara hukum dalam kasus karhutla. Konsistensi aparatur penegak hukum disorot dan lembaga MA disindir agar tidak melegalisasi karhutla sebagai aktivitas yang tidak melanggar hukum.
Potret di kasus karhutla selama ini mengesankan adanya tontonan umum mengenai rapuhnya penegakan hukum. Khalayak ramai menyaksikan asap yang menyembul di Sumatra maupun Kalimantan sekarang ini seolah menantang kedigdayaan negara.
Terhadap kasus karhutla sejatinya dapat diterapkan tiga jerat hokum secara terpadu, yaitu: administrasi, kepidanaan dan keperdataan. Aspek administratif dilakukan dengan pengawasan dan penerapan sanksi oleh jajaran birokrasi yang berpuncak dengan terbitnya sanksi pencabutan izin. Dalam karidor norma inilah apabila di suatu wilayah terjadi karhutla, hal itu menandakan betapa lemahnya pengawasan serta kinerja ekologis birokrasi pemerintahannya. Kementerian/lembaga sektoral secara struktural-fungsional akan menjadi pihak yang dapat diminta pertanggungjawaban hukum atas berkobarnya karhutla di teritorialnya. Pejabat pengawas yang main-main atau tidak melakukan tugasnya, secara yuridis dapat dipidana. Tidak melakukan pengawasan adalah tindakan kriminal.
Pada aspek kepidanaan bersentuhan dengan pelaku karhutla secara perseorangan dan korporasi. Penerapan tindak pidana korporasi diatur Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi didefinisikan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Korporasi dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Mengenai fenomena kejahatan ekologis telah lama dilakukan gugatan administrasi maupun gugatan ganti rugi terhadap korporasi pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan.
Memang pertanggungjawaban pidana lingkungan dapat dibebankan kepada perseorangan (natuurlijke persoon) atau badan hukum (rechtspersoon) sebagai penjelmaan hak dan kewajiban. Pidana korporasi itu diterapkan dengan menjatuhkan sanksi pidana denda, dan bagi pengurusnya diterapkan sanksi pidana berupa penjara (maupun denda). Dalam UU Lingkungan Hidup, sanksi pidana denda untuk badan hukum diperberat sepertiga dari sanksi pidana denda untuk individu. Perseorangan yang dipidana dalam konteks kejahatan korporasi meliputi: pengurus (direksi atau ketua), pemimpin perbuatan pidana (kepala bidang), dan pelaku nyata di lapangan (pekerja) sesuai dengan tugasnya.
Adapun jerat hukum keperdataan (gugatan) atas kerugian yang ditanggung korban karhutla memiliki landasan konstitusional Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 Piagam Hak Asasi Manusia (Tap. MPRRI No. XVII/MPR/1998): “hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Penuangan hak fundamental merupakan bentuk perlindungan hukum paling ekstensif yang memberikan kaedah yuridis gugatan untuk merealisir kepentingannya.
Gugatan
ini dapat dilakukan oleh individu, kelompok masyarakat (class action), LSM. Bahkan pemerintah pusat dan daerah telah diberi otoritas hukum mengajukan gugatan atas kerugian yang diderita akibat karhutla. Lebih dari itu, guna menuntaskan kompleksitas permasalahan ekologis yang bersifat strategis, norma hukum lingkungan memberikan rute penuntasan permasalahan yang mengharmoniskan kepentingan ekonomi-ekologi dan social berupa citizen lawsuit . PN Palangkaraya pada 22 Maret 2017 telah membuat putusan cemerlang mengenai gugataan warga negara (citizen lawsuit) akibat alpanya negara dalam kasus karhutla (2015). Presiden, KLHK, Kementerian Kesehatan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Pertanian, Gubernur dan DPRD Kalteng dinyatakan bersalah. Putusan itu menggedor kesadaran agar pencari keadilan selalu optimis bahwa hukum adalah solusi. PN Palangkaraya menyorongkan gairah rakyat melalui titian hukum berupa citizen lawsuit , tanpa mencederai diri sendiri, apalagi memperolok liyan, dan berteriak “pokoknya tolak” .
Citizen lawsuit memberikan “karpet merah” kepada warga negara untuk menggugat institusi negara yang mengabaikan kewajibannya. Rakyat memiliki hak atas kehidupan, kesehatan, keamanan, pendidikan, sandang-pangan-papan, maupun lingkungan yang baik (constitutional-rights). Negara yang teledor, tidak tanggap atas nasib rakyat akibat karhutla, maka warga dipersilahkan “menjewernya” melalui gutaan citizen lawsuit. Titian hukum yang dipancangkan dari ruang PN Palangkaraya niscaya meneguhkan daulat rakyat atas pemerintahnya. Negara telah memberikan mendat kepada pemerintah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah. Dalam kasus karhutla tersedia referensi hukum yang kini dipersembahkan oleh institusi peradilan: putusan citizen lawsuit, rakyat dituntun menempuh jalan hukum untuk bertindak terhormat.
PN Palangkaraya sudah sangat terang pesannya ke mana pendulum hukum harus diayunkan guna memungkasi “tradisi karhutla” meski melelahkan. Sebagai perenungan kuselipkan ungkapan Jalaluddin Rumi untuk yang terpanggil memperjuangkan hak-hak ekologis rakyat: A voice inside the best says: I know you’re tired, but come. This is the way. Simaklah suara yang di dalam iramanya berkata: Aku tahu kau amat lelah, tetapi kemarilah. Inilah jalannya.***
Penilus: Suparto Wijoyo (Dosen Hukum Lingkungan, Universitas Airlangga)