SENAPELAN (RIAUPOS.CO) -- SAMA seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap Ramadan, pengurus Masjid Raya Senapelan menghadirkan ulama dari Timur Tengah untuk menjadi imam Salat Tarawih. Kali ini, ustaz dari Yaman Dr Mahmood bin Mahmood Bushia yang menerima kesempatan itu.
“In sya Allah kami bawa ke sini. Satu hari sebelum puasa akan tiba di sini. Saat ini, beliau sedang mengurus visanya,” kata Ketua II pengurus Masjid Raya Senapelan H Afrizal Usman MSi kepada Riau Pos, Kamis (2/4).
Saat ditanyakan alasan memilih imam Salat Tawarih dari Timur Tengah, Afrizal mengatakan itu sebagai upaya untuk menarik jamaah untuk datang beribadah di Masjid Raja Senapelan Pekanbaru. Tidak hanya sebagai imam Salat Tarawih saja, tetapi juga sebagai pelaksana pada Salat Id di Lapangan Bukit Senapelan nanti.
“Imam biasa sudah hafal 30 juz, tapi jamaah sudah sering dengar. Jadi, penarik jamaah untuk hadir, ada imam dari luar negeri,” ucapnya kembali.
Untuk jumlah rakaat pada Salat Tarawih yang akan dilaksanakan sebanyak 23 rakaat dengan rincian 20 rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir. Selain itu, setiap harinya masjid yang dikenal sebagai masjid pertama di Pekanbaru ini juga menyiapkan setidaknya 200 takjil yang dibagikan saat berbuka puasa.
“Kemudian ada kegiatan membaca satu juz satu malam dan sepuluh malam terakhir ada banyak kegiatan. Seperti muhasabah, peringatan Nuzulul Quran diperingati dengan makan bersama dan santunan kepada anak yatim binaan,” rincinya.
Tidak hanya berbagai kegiatan itu saja yang menjadi daya tarik masjid raya ini, tidak jauh dari situ terdapat kompleks makam Marhum Pekan yang merupakan malam keluarga kerajaan yang tidak pernah sepi kunjungan masyarakat untuk berziarah, berdoa atau sebagai tugas sekolah siswa maupun mahasiswa.
Diceritakan Dadang Irham sebagai hang kubur yang telah bekerja selama sepuluh tahun, makam itu sudah ada sejak 1765 lalu. Yang mana, setiap tahun masyarakat melakukan ziarah kubur dibarengi dengan kegiatan petang balimau guna mensucikan diri dari kesalahan-kesalahan sebelumnya.
Perang balimau memiliki nama yang berbeda-beda tergantung dengan asal daerahnya, seperti Jawa dikenal dengan sebutan padusan, sementara NAD dikenal dengan nama petang megang. Tradisi ini sudah ada sejak zaman Hindu, sehingga tidak aneh kalau kebiasaan ini sudah mengakar di masyarakat Indonesia.
“Keutamaannya sebetulnya ialah bersih-bersih diri. Simbol saja,” ujarnya.
Masuk ke dalam kategori cagar budaya, menurut Dadang, dahulu ada orang-orang yang datang ke makam hanya untuk meminta pertolongan. Bahkan di dalam makam terdapat kain kuning sebagai penanda saja pernah digunting dianggap sebagai syarat.
“Padahal itu hanya dikasih Dinas Pariwisata saja. Kesannya kuning sebagai lambang raja, tidak ada, simbolik saja, syirik itu. Ada juga yang ketahuan langsung lari,” sahutnya.
Berdasarkan pantauan Riau Pos, di sekitar makam terdapat berbagai macam pohon ditanam. Mulai dari kurma, jeruk, jambu dan sebagainya merupakan sumbangan dari warga untuk Masjid Raya Pekanbaru.
Selain itu, di sekitar Masjid Raya Senapelan juga terdapat sumur tua yang tidak pernah habis airnya. ‘‘Alhamdulillah sampai sekarang belum pernah kering air sumurnya,” imbuh Dadang.(*1)
(Laporan MARRIO KISAZ, Senapelan)