PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Terkait fenomena LGBT yang terjadi di Kota Pekanbaru, dosen psikologi Universitas Abdurrab Itto Nesyia Nasution MPsi Psikolog mengatakan bahwa LGBT merupakan sebuah perilaku menyimpang. Sehingga perlu regulasi untuk mencegah penyebarannya.
"Kenapa dia dikatakan menyimpang? Karena memang secara budaya di Indonesia kita masih sangat awam terhadap perilaku penyimpangan seksual tersebut. Nah, kalau kita lihat fenomena ini dari sisi psikologis bisa banyak hal yang bisa dijelaskan di sini," terangnya yang juga merupakan Kaprodi Psikologi di Universitas Abdurrab ini.
Ia menilai, penyebab LGBT ialah kurangnya kontrol dari orang sekitar dan keluarga. "Keluarga sangat berpengaruh besar seseorang bisa mengalami penyimpangan seksual," ujarnya.
Kemudian, penyebab lainnya ialah, masyarakat Indonesia, khususnya Kota Pekanbaru sudah menuju ke kaum urban (urbanisme) yang dikenal dengan kaum individualis yang suka menyendiri, tidak bersosialisasi.
"Makanya pergerakan dari LGBT ini seperti underground dan dia tidak bisa meng-up nya ke luar. Karena mungkin faktor malu juga dan mereka bahwa itu menyimpang," sambungnya.
Penyebab terakhir yang juga menjadi kasus yang banyak terjadi ialah hampir 95-98 persen orang-orang kaum LGBT saat ini ialah korban pelecehan orang dewasa saat ia masih kecil. Jadi perilakunya itu seperti perilaku berulang. "Awalnya dia korban, sekarang menjadi pelaku," terangnya lagi.
Karena itu, semua pihak dikatakannya harus aware terhadap hal-hal seperti ini yang sudah meresahkan karena sudah dekat dengan kehidupan kita.
Ia menilai, perilaku LGBT ini bisa dicegah dan dihentikan jika semua pihak serius dan bergandengan tangan. "Dicegah bisa, dihentikan bisa. Tapi kita harus lihat dulu pencegahan dan penghentian yang seperti apa," lanjutnya.
Dijelaskannya, untuk pencegahan, yang harus dicegah adalah efek dari penyebaran LBGT ini. Ini memerlukan regulasi daerah yang tepat. "Dalam artian peran pemerintah dan hukum harus kuat. Misalnya jika ada perilaku menyimpang seperti ini, hukumannya apa. Karena manusia secara naluri manusia takut atau menghindar untuk dihukum. Sehingga ada benteng bagi mereka untuk tidak melakukan hal tersebut," paparnya.
Untuk saat ini, ia menilai, regulasi daerah atau pemerintah belum sampai ke situ. Sedangkan untuk di sekolah, sistem penyebaran perilaku ini harus diperkuat.
"Misalnya ini, kalau melihat anak laki-laki yang agak gemulai (meniru gaya perempuan) jangan malah diapresiasi. Kalau diapresiasi, berarti kita ikut atau turut mengembangkan perilaku yang mereka tanamkan di diri mereka. Karena kan mereka sedang mencari jati diri," ujarnya memberi contoh.
Sebaliknya, jika melihat hal tersebut, guru atau orang dewasa di sekitar harus memberikan pemahaman. "Jadi sistem di sekolah itu harus sejalan dengan pemerintah punya," tegasnya.
Sosialisasi juga perlu dilakukan dengan melibatkan sekolah, masyarakat dan organisasi-organisasi yang ada untuk mencegah atau mengurangi dampak LBGT ini bagi generasi kita selanjutnya.
"Kita ada IDI yang bisa memberitahukan dampak LGBT secara medis. Kita Himpunan Psikologi Indonesia memberikan konsultasi dan pendampingan psikologis untuk pelaku agar bisa dikembalikan ke kehidupan yang normal. Bisa kerja sama dengan kader PKK dan organisasi lain," sarannya.(yls)
Laporan SITI AZURA, Kota