Setelah meraih Piala Liga 1992, pada musim 1998/1999 inilah salah satu prestasi bagus yang diraih Semen Padang, meski tak menjadi juara. Manajemen menunjuk Azwar Maaroef sebagai manajer dan Aslim Saleh sebagai ketua umum. Jenniwardin, yang sejak 1992 tak menangani tim --banyak berada di Palembang bersama beberapa klub kecil di sana, termasuk PS Palembang, karena dia ditempatkan di sana sebagai karyawan PT Semen Padang-- dipanggil kembali untuk menangani tim.
Awalnya, banyak orang tak percaya salah seorang pendiri Semen Padang FC ini bisa berprestasi baik. Dia pernah banyak dikritik orang karena menempatkan penyerang dengan status bintang sekelas Taufik Yunus sebagai bek tengah, karena dalam beberapa pertandingan Taufik gagak mencetak gol. Buktinya, "hukuman" itu membuat Taufik kembali lagi menjadi striker yang menakutkan.
Kritikan juga muncul karena jarang memainkan Suwarno, playmaker yang dibeli dari PSDS Deliserdang. Padahal setiap dimainkan, mantan kapten PSDS itu bermain baik. Menurut Jenni, Suwarno dan Maskur Rauf, juga Syafril M, punya kemampuan yang sama, dan mereka diberi kesempatan yang sama.
Namun, akhirnya kritik itu berubah pujian setelah pelan tapi pasti Semen Padang mampu bermain dengan baik dan lolos ke 10 Besar di Senayan. Pemain-pemain muda yang direkrut Edy Santoso, matang di tangannya, plus beberapa pemain baru pilihannya sendiri. Herman Pulalo, Erol Iba, Zulkarnain Zakaria, Husaini, Effendi Ibrahim, Kusdianto, Buyung Ismu, Khair Rifo, Suriadi, Maskur Rauf dan yang lainnya, mampu memperlihat diri sebagai pemain-pemain yang bisa diandalkan.
Saat putaran final, Semen Padang tak terkalahkan. Namun gagal lolos ke semifinal karena kalah bersaing dengan PSIS Semarang dan Persebaya (dua klub yang akhirnya lolos ke final yang dimainkan di Stadion Klabat, Manado). Semen 3 kali seri melawan Persikota Tangerang (0-0), Persebaya dan PSIS masing-masing dengan skor 2-2, dan di pertandingan terakhir menang telak 6-1 atas Petrokimia Putra. Meski gagal, Semen mendapat penghargaan sebagai Tim Fair Play, dan kemudian diberi kesempatan mewakili klub Indonesia di Piala Bangabandhu, Bangladesh, musim berikutnya.
Sejak itu, dua musim berikutnya, Semen masih mempercayakan posisi pelatih kepada Jenniwardin. Beberapa amunisi bagus pun didapatkan, di antaranya Elly Aiboy dan Purwanto. Plus Erol, ketiga pemain ini di musim-musim berikutnya menjadi bintang Semen Padang dan menakutkan setiap lawan. Sayangnya, Semen tak mampu mengulangi prestasi lolos ke Senayan lagi. Di musim 1999/2000, hanya berada di posisi 6 Wilayah Barat. Musim berikutnya berada di posisi 7. Kondisi ini membuat Semen akhirnya mengembalikan Jenniwardin ke perusahaan dan posisinya digantikan oleh Suhatman Imam. Manajemen menafikan bahwa di musim sebelumnya, Suhatman gagak menyelamatkan PSP Padang dari degradasi ke Divisi I.
Di musim 2002, dengan manajer baru tetapi orang lama dalam tim, yakni Ir Heryandi Djahir, Semen berhasil lolos ke Senayan. SP berhasil menjuarai Wilayah Barat. Ellie Aiboy, Erol Iba, Rommy Diaz Putra dan beberapa pemain muda lainnya menemukan kematangan. Mereka juga diperkuat pemain tangguh asal Brazil, Carlos Renato Elias. Semen berhasil melaju ke semifinal, tetapi harus menelan kekalahan lewat adu penalti dari Petrokimia Putra yang diperkuat oleh Widodo C Putro, yang kemudian menjuarai liga (juga lewat adu penalti) atas Persita Tangerang.
Para pemain Semen Padang yang sebelumnya jarang dilirik timnas, akhirnya malah menjadi bintang. Ellie, Erol, dan Purwanto menjadi andalan di timnas. Jenniwardin sendiri dalam beberapa musim menangani PSPS Pekanbaru dan Sriwijaya FC. Dia mengubah kedua klub tersebut menjadi sangat disegani di Liga Indonesia.
Buku yang saya tulis ini hanya memuat sejarah Semen Padang FC hingga musim 2001. Namun di situ tergambar bahwa justru di tangan putra-putra Sumbar yang lahir dari iklim sepakbola di daerah ini, Semen Padang mampu berprestasi tinggi. Juara Piala Liga 1992 (Jenniwardin-Suhatman Imam), lolos ke putaran final 1998/1999 (Jenniwardin), dan menjadi semifinalis 2001/2002 (Suhatman Imam). Saat juara Liga Primer Indonesia (LPI) tahun 2012, Semen Padang juga ditangani pelatih lokal. Nil Maizar (hingga Juli 2012 sebelum ditunjuk menjadi pelatih timnas) dan Suhatman Imam membangun tim ini hingga menjadi juara dalam dikotomi kompetisi Indonesia tersebut.
Sejarah tak bisa dibohongi. Di situ jelas, sepanjang sejarah, tak ada pelatih dari luar Sumbar yang mampu membawa Semen berprestasi tinggi. Jika berhasil lolos ke Divisi Utama dari Divisi I yang pernah dilakukan oleh Arcan Iuri pada 2010 sebagai prestasi tinggi, bolehlah itu dicatat sebagai satu-satunya. Dan jika musim depan di tangan Eduardo Almeida, Semen bisa lolos ke Liga 1, berarti itu yang kedua.
Tulisan ini hanya sebuah refleksi sejarah. Tidak lebih.***
Hary B Koriun, Wartawan Riau Pos.