SEPAKBOLA DAN PERANG

Terkait Invasi Israel ke Palestina, FIFA Terapkan Standar Ganda

Olahraga | Kamis, 10 Maret 2022 - 07:05 WIB

NYON (RIAUPOS.CO) - Baru-baru ini FIFA mendapat kritik keras lantaran menerapkan standar ganda terhadap Rusia dan Israel. Berikut kata FIFA soal invasi Israel ke Palestina.

Invasi Rusia kepada Ukraina dalam dua pekan terakhir membuka wajah lain dari badan sepak bola dunia, FIFA. Tanpa menyebut "politik", FIFA dan juga UEFA memberikan hukuman berat kepada Rusia: mulai larangan menggelar laga kandang, menjadi tuan rumah Liga Champions, pencoretan Spartak Moskow dari Liga Europa, hingga pencoretan timnas Rusia dari Piala Dunia 2022.


Selain FIFA, Komite Olimpiade Internasional (IOC) dan sejumlah federasi olahraga dunia lain ikut bergabung sebagai anti-Rusia. Dikutip dari Arabnews, sikap FIFA, UEFA, IOC, dan juga badan olahraga lain itu membuat Palestina yang sejauh ini mendapat serangan Israel bingung.

Dalam laporan tersebut, perang Israel kepada olahraga Palestina memiliki usia yang sama dengan negara Israel itu sendiri. Akan tetapi, FIFA bersama organisasi olahraga internasional lain tidak melakukan apa pun untuk meminta pertanggungjawaban Israel atas kejahatannya kepada olahraga Palestina.

Dalam invasinya, Israel disebut menargetkan stadion di Palestina, membatasi perjalanan atlet, pembatalan acara olahraga, dan penangkapan, bahkan pembunuhan pesepakbola Palestina.

Akan tetapi FIFA tak bergerak dan diam saja. Sekalipun memiliki Komite Monitoring FIFA untuk Israel dan Palestina, namun tetap tidak ada hukuman yang dikeluarkan FIFA untuk Israel.

Dalam rilis yang dikeluarkan pada 27 Oktober 2017 silam, FIFA menyatakan konflik antara Israel dan Palestina tidak berkaitan dengan sepak bola.

"Dewan FIFA mengakui bahwa situasi saat ini, untuk alasan yang tidak ada hubungannya dengan sepak bola, ditandai dengan kompleksitas dan kepekaan yang luar biasa oleh keadaan de facto tertentu yang tidak dapat diabaikan atau diubah secara sepihak oleh organisasi non-pemerintah seperti FIFA," demikian pernyataan FIFA.

Dua tahun setelah pernyataan FIFA itu, Israel makin menjadi-jadi setelah dengan kejam membatalkan Piala Palestina FIFA yang mempertemukan tim sepak bola papan atas Gaza, Khadamat Rafah, dan FC Balata dari Tepi Barat di laga final.

Warga Palestina melihat sepak bola sebagai 'pelarian' dari kesulitan hidup di bawah pengepungan dan pendudukan. Duel itu sangat dinanti, menawarkan momen persatuan yang berharga di antara orang-orang Palestina dan akan ditonton oleh banyak orang, terlepas dari afiliasi politik atau lokasi geografis mereka.

Hanya saja tanpa alasan jelas seperti yang dilaporkan oleh majalah AS, The Nation, Israel memutuskan untuk menolak momen kegembiraan yang singkat itu bagi warga Palestina. Tetapi lagi-lagi FIFA tidak melakukan apa-apa meskipun final itu membawa nama lembaga tertinggi sepakbola tersebut.

Sementara klub Israel yang terkenal rasis, Beitar Jerusalem, diizinkan bermain bebas, seperti tanpa hambatan, dan dilaporkan mengizinkan penggemar mereka menyanyikan lagu rasial.

Pernyataan selanjutnya FIFA juga menegaskan pihaknya "harus tetap netral" atas yang berkaitan dengan masalah politik.

"Mengingat bahwa status akhir wilayah Tepi Barat adalah perhatian otoritas hukum publik internasional yang kompeten, Dewan FIFA setuju bahwa FIFA, sejalan dengan prinsip umum yang ditetapkan dalam Anggaran Dasarnya, harus tetap netral berkaitan dengan masalah politik," tulis FIFA.

Melihat situasi yang terjadi pada Rusia dan Ukraina saat ini, pernyataan FIFA itu menjadi standar ganda. Pasalnya, konflik Rusia dan Ukraina merupakan imbas dari kebijakan politik kedua negara dan tidak ada hubungannya dengan sepak bola. Akan tetapi FIFA tanpa keberatan memberikan hukuman berat kepada Rusia yang menyerang Ukraina.

Standar ganda lain yang ditunjukkan FIFA adalah imbas dari solidaritas pihak lain kepada Palestina dan Ukraina.

Saat ini ramai dukungan kepada Ukraina, baik melalui unggahan di media sosial maupun aksi saat di lapangan pertandingan. Meski demikian, tidak ada sanksi kepada mereka yang bersimpati untuk Ukraina.

Kondisi itu berbeda ketika mantan kapten timnas Mesir, Mohammed Aboutrika, dikartu kuning pada 2009 karena menampilkan kaus yang bertuliskan dalam bahasa Arab dan Inggris "Bersimpati dengan Gaza".

Akibat tindakan itu Aboutrika mendapat peringatan dari Konfederasi Sepakbola Afrika agar tidak mencampur politik dengan olahraga. Standar ganda FIFA juga yang membuat Aboutrika buka suara baru-baru ini.

"Keputusan untuk menangguhkan klub dan tim Rusia dari semua kompetisi harus disertai dengan larangan terhadap mereka yang berafiliasi dengan Israel, karena Israel telah membunuh anak-anak dan wanita di Palestina selama bertahun-tahun," kata Aboutrika.

Bukan saja FIFA yang berstandar ganda, organisasi olahraga internasional juga bersikap seperti itu lebih dahulu. Itu terlihat ketika judoka Aljazair, Fethi Nourine, dan pelatihnya diskors 10 tahun karena mengundurkan diri dari Olimpiade Tokyo 2020 karena menolak melawan atlet Israel.

Namun, jika dirunut ke belakang, sebelum kasus invasi Rusia ke Ukraina, FIFA, UEFA dan badan dunia lainnya, sudah mencampurkan politik dengan olahraga dalam kasus Yugoslavia.

Ketika itu, baik UEFA, FIFA maupun PBB, memberikan sanksi kepada Yugoslavia karena pecahnya Perang Balkan. Yugoslavia ditarik dari keikutsertaannya di Piala Eropa 1992 dan digantikan Denmark hanya sepekan sebelum kejuaraan tersebut digelar di Swedia. Ketika itu, justru Denmark yang menjadi juara setelah di final mengalahkan Jerman 2-0.

Sumber: AFP/Arabnews/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook