JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pemahaman masyarakat Indonesia terhadap penggunaan obat-obatan masih rendah. Bukan hanya terhadap obat-obat bebas yang dijual di toko, namun juga obat-obat keras seperti antibiotika. Imbasnya, ancaman resistensi antibiotik pun cukup tinggi.
Dari catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), baru 20 persen dari 252 juta jiwa
penduduk Indonesia yang paham dalam penggunaan obat. Kenyataan ini diperburuk dengan fakta kegemaran masyarakat yang suka menyimpan obat untuk melakukan pengobatan sendiri (swamedika). Di antaranya, obat keras tanpa resep dokter.
Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek menyampaikan, masyarakat kerap menjadikan antibiotik sebagai obat dewa. Prinsipnya, segala macam penyakit dapat segera sembuh dengan meminum antibiotik yang kini banyak turunannya.
Padahal, menurutnya, tidak demikian. Antibiotik hanya dapat digunakan untuk penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Dengan begitu, penyakit akibat virus seyogyanya tidak mengonsumsi obat keras ini. Misalnya, saat sakit batuk, pilek, diare tanpa darah, dan muntah.
“Maka penyakit tersebut tidak memerlukan antibiotik. Sebab, tujuan pemberian antibiotik adalah untuk mengobati penyakit karena infeksi bakteri,” jelasnya dalam acara peluncuran gema cermat penggunaan obat di Jakarta, Jumat (27/11).
Namun, yang lebih membuat Nila geram adalah banyak tenaga kesehatan yang kurang melek pada penggunaan antibiotik ini. Bukan lantaran tak mengerti, tapi terkadang ada tenaga kesehatan yang kurang pas memberikan jenis antibiotik atau bahkan menjual antibiotik secara ngawur.
“Tentu ini tidak boleh. Nanti akan kita berikan sanksi,” tegasnya.