Executive General Manager Bandara Soekarno-Hatta Agus Haryadi mengungkapkan, tes PCR yang disediakan oleh pihaknya dapat diketahui sekitar 1 jam. Pengambilan sampel dilakukan ketika penumpang baru mendarat dan hasil didapat sebelum penumpang berangkat ke tempat karantina.
"Penumpang tidak terlalu lama menunggu di bandara," ujarnya.
Saat ini, kata dia, kapasitas peralatan yang tersedia di Bandara Soekarno-Hatta dapat digunakan untuk melakukan tes terhadap sekitar 700 orang per jam. Ke depan, Bandara Soetta tetap akan melakukan peningkatan kapasitas tes ke depannya, sejalan dengan arahan Menteri Perhubungan. Saat ini, tengah disiapkan laboratorium tes berstandar Bio Safety Lab Level 2 (BSL 2) untuk pelaksanaan tes PCR yang lebih massif.
"Keberadaan testing lab facilities berstandar BSL 2 ini sekaligus memperkuat penerapan Biosafety Management di Bandara Soekarno-Hatta," President Director of AP II Muhammad Awaluddin.
Selain itu, penumpang dari luar negeri juga diminta menggunakan aplikasi PeduliLindungi untuk memproses kedatangan. Termasuk, verifikasi dokumen kesehatan dan mengisi eHAC internasional. Aplikasi PeduliLindungi ini di Bandara Soekarno-Hatta didukung dengan sistem untuk semakin mempermudah pengaturan dan penanganan di international arrival hall Terminal 3 termasuk untuk tes PCR.
Komandan Satgas Udara Penanganan Covid-19 Kolonel Tek Sunu Eko P menuturkan, usai diPCR mereka akan menjalani masa karantina. Sebab, protokol kesehatan penting yang harus dijalani penumpang dari luar negeri.
"Dan pada hari ke-4 karantina juga kembali akan dilakukan tes PCR," ungkapnya.
Ketua DPR RI Puan Maharani mendesak pemerintah menjawab kebingungan masyarakat terkait aturan perjalanan orang yang terbaru. Menurut dia, beberapa hari ini banyak masyarakat bersuara karena bingung dengan aturan baru PCR sebagai syarat semua penerbangan.
"Masyarakat mempertanyakan kenapa dalam kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia yang semakin membaik, tapi justru tes perjalanan semakin ketat," kata Puan.
Menurutnya, ketika Covid-19 belum selandai sekarang, justru tes antigen dibolehkan sebagai syarat penerbangan. Kalau sekarang harus PCR karena hati-hati, apakah berarti waktu antigen dibolehkan, masyarakat sedang tidak atau kurang hati-hati? Pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat seperti itu harus dijelaskan terang benderang oleh pemerintah.
Menurut Puan, tes PCR seharusnya digunakan hanya untuk instrumen pemeriksaan bagi suspect corona. Ia mengingatkan, fasilitas kesehatan di Indonesia belum merata dan akan semakin menyulitkan masyarakat yang hendak bepergian dengan transportasi udara. Perlu diingat, kata dia, tidak semua daerah seperti di Jakarta atau kota-kota besar yang tes PCR bisa cepat keluar hasilnya. Di daerah, belum tentu hasil tes PCR bisa selesai dalam 7x24 jam. Maka kurang tepat ketika aturan tes PCR bagi perjalananan udara berlaku untuk 2x24 jam.
Dia mengatakan, jika memang alasan kebijakan mobilitas diperbaharui karena semakin luasnya pembukaan operasional sektor sosial kemasyarakatan, maka seharusnya berlaku untuk semua moda transportasi. Tapi di aturan terbaru, syarat perjalanan bagi transportasi darat, laut, dan kereta api masih tetap memperbolehkan tes antigen 1x24 jam. "Kebijakan yang tidak merata dan terkesan ada diskriminasi, harus di-clear-kan pemerintah," ujarnya.
Namun jika memang pemerintah menilai syarat tes PCR bagi pelaku penerbangan menjadi solusi terbaik, Puan meminta agar harga PCR test bisa semakin ditekan. Selain itu, fasilitas kesehatan harus bisa diseragamkan di seluruh daerah. Pemerintah harus bisa memastikan waktu dan proses PCR di seluruh daerah bisa selesai dalam waktu singkat, agar bisa memenuhi syarat pemberlakuan hasil tes 2x24 jam.
"Dan harganya pun harus sama di semua daerah," jelasnya.
Fraksi PKB DPR RI menolak Inmendagri Nomor 53 Tahun 2021. Aturan itu dinilai sebagai langkah mundur dalam upaya mendorong kebangkitan ekonomi di tanah air.
"Kami menilai kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat merupakan langkah mundur bagi upaya menuju kenormalan baru seiring terus melandainya kasus Covid-19 di tanah air," ujar anggota DPR dari Fraksi PKB Neng Eem Marhamah Zulfah, kemarin
Dia menjelaskan, pembatasan ketat selama pandemi Covid-19 dalam satu setengah tahun terakhir telah memukul industri penerbangan global termasuk di Tanah Air. Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) mencatat industri penerbangan global mengalami kerugian Rp2.867 triliun selama satu setengah tahun terakhir. (lyn/mia/lum/wan/jpg)
Laporan JPG, Jakarta