Ketika terjadi pembatasan pergerakan ternak, sehingga membuat stok berkurang, bisa dilakukan dengan takwil atau mewakilkan kepada orang lain. Atau juga bisa berkurban melalui lembaga sosial keagamaan yang melakukan pemotongan hewan kurban dari sentra ternak.
Masuknya masa Iduladha, sebelumnya juga sempat disinggung Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Dia mengatakan Kementan sudah menyiapkan skenario menyambut datangnya Iduladha di tengah wabah PMK, di antaranya adalah menyediakan kecukupan stok hewan kurban.
Syahrul mengatakan pada 2021 hewan kurban yang dipotong mencapai 1,6 juta ekor. Proyeksi jumlah hewan kurban yang dipotong tahun ini 1,7 juta ekor atau naik sekitar 5 persen. "Potensi ketersediaan hewan kurban 2022 bukan berasal dari daerah atau kabupaten/kota yang masuk dalam zona merah (terkonfirmasi kasus PMK hasil laboratorium)," kata dia.
Selain itu juga dilakukan pendataan dan sosialisasi PMK kepada pedagang hewan kurban. Upaya ini dilakukan oleh dinas terkait di tingkat kabupaten dan kota. Kemudian juga dikeluarkan petunjuk pemotongan kurban di masa pandemi, untuk jadi rujukan masyarakat.
Pada bagian lain, pemerintah diminta melakukan pengawasan ketat untuk sapi impor dan program karantina bagi sapi-sapi di daerah yang jadi endemi PMK. Mengingat, kini penyebarannya sudah kian meluas di 16 provinsi.
Menurut Outlook Daging Sapi 2020 dari Kementerian Pertanian, sekitar 30-40 persen keperluan daging sapi nasional dipenuhi melalui impor, baik impor daging sapi atau hewan sejenis lembu lainnya. Impor didominasi oleh Australia. Namun di beberapa tahun terakhir Indonesia mulai mendiversifikasi dan mengimpor dari India.
Karenanya, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta menilai, setiap pulau perlu memiliki pusat karantina hewan dan bibit hewan ternak yang diimpor. Hal ini guna menghindari penyebaran penyakit menular pada ternak secara cepat. "Titik-titik pemeriksaan, pengawasan dan karantina untuk sapi impor perlu menjadi fokus pemerintah supaya PMK tidak semakin meluas," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, upaya pengawasan dari dokter hewan dan pengawasan hewan dalam setiap rumah potong hewan (RPH) juga perlu diperkuat. Meskipun, penyakit ini diklaim tidak berbahaya bagi manusia, namun sangat berakibat fatal bagi hewan ternak seperti sapi.
Kondisi ini, menurut Aditya, telah mengakibatkan penurunan penjualan daging sapi di sejumlah daerah. Bila terus berlanjut, dikhawatirkan bakal berpengaruh terhadap harga ternak dan daging yang melonjak.
Terkait impor daging maupun bibit hewan ternak ini, Aditya menilai, Indonesia masih memerlukannya. Pasalnya, masih ada keterbatasan pasokan domestik. Sementara, permintaan daging semakin meningkat seiring dengan pertambahan populasi dan peningkatan pendapatan masyarakat, terutama bagi kelas menengah yang semakin bertambah.
Namun lagi-lagi, dia juga menekankan kembali soal pengawasan kesehatan hewan. Baik untuk perlindungan pada konsumen terkait risiko penyakit hewan maupun menghindari penularan pada ternak lainnya. (wan/mia/jpg)