JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja di Badan Legislasi DPR RI menjadi perhatian akademisi. Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia Asep Saefuddin meminta agar pembahasannya terbuka, menimbang aspirasi rakyat dan berbagai kajian ilmiah.
"Memang saat ini fokus pemerintah dan DPR pada masalah Covid-19. Tapi RUU Cipta Kerja perlu dibahas dan dikawal secara kritis agar lebih banyak lagi orang paham," kata Asep dalam video conference.
Dengan demikian, pasal-pasal yang dianggap berpotensi merugikan atau menimbulkan masalah bisa diperbaiki. Mengingat, semangat RUU Cipta Kerja untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan dunia usaha. Makanya, membutuhkan pemikiran jernih, netral, objek, serta kajian ilmiah yang komprehensif untuk membahasnya.
Pakar hukum Universitas Al-Azhar Agus Surono menuturkan, Omnibus Law merupakan peraturan perundangan yang Multi sektor. Terdiri dari banyak pasal, yang sifatnya, mandiri terikat atau minimum terikat dengan peraturan lain. Serta, mencabut sebagian atau keseluruhan peraturan lain.
"Karena kompleks, sudah pasti ada sejumlah pasal yang mengandung kelemahan maupun potensi bermasalah," kata Agus.
Berdasarkan outlook perekonomian 2020 Kementerian Koordinator Perekonomian, isu ketenagakerjaan menjadi salah satu tantangan utama. Apalagi, di tengah kondisi pandemi virus korona (Covid-19) banyak industr terpukul. Tidak sedikit usaha yang bangkrut.
Akibatnya, banyak terjadi PHK (putus hubungan kerja). Lapangan kerja akan terbuka bila ada kegiatan investasi yang kondusif. Terutama pada sektor riil yang menghasilkan barang dan jasa.
"Kalau iklim investasi baik, maka industri dan dunia usaha umumnya diharapkan membaik. Banyak tenaga kerja terserap dan itu yang dibutuhkan saat ini," ujar pria yang juga menjabat Wakil Rektor Universitas Al-Azhar itu.
Makanya, dengan RUU Cipta Kerja mampu memangkas peraturan yang berbelit menjadi efisien. Sehingga, iklim usaha dan investasi tumbuh. Khususnya, usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM).
Dia mengapresiasi omnibus law RUU Cipta Kerja memuat pengaturan hubungan pekerja dengan usaha kecil dan menengah berbasis kesepakatan kerja. Begitu pula, model pengupahan yang berbasis jam kerja ataupun berbasis harian.
Sehingga lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan perusahaan. Sehingga membentuk iklim ketenagakerjaan yang easy hiring dan easy firing.
Agus kurang sepakat jika RUU Cipta Kerja tidak memihak para pekerja. "Karena justru membuka peluang kerja lebih besar dengan dipermudahnya birokrasi investasi. Kalau dunia usaha berkembang, pengangguran kan terserap," jelasnya.
Meski begitu, dia juga tidak menampik terdapat pasal-pasal yang harus dibahas secara kritis. "Misalnya pasal-pasal yang terkait kontrak karya dan perjanjian karya perusahaan pertambangan batubara di Pasal 169A dan turunannya harus diperbaiki," katanya.
Sebab, menurut Agus, akan berbahaya jika perpanjangan kelanjutan operasi tanpa melalui lelang dengan mempertimbangkan penambahan nilai tambah (PNT). "Tidak fair dan berpotensi konflik kepentingan," pungkasnya.
Sumber: JawaPos.com
Editor: Erizal