JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kementerian Ketenagakerjaan kembali buka suara terkait Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Jumat (6/1). Kementerian yang dipimpin Ida Fauziyah itu menyebutkan, tengah mengrevisi peraturan pemerintah (PP) yang menjadi turunan perppu yang mendapat sorotan tersebut.
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Anggoro Putri dalam keterangan kepada media kemarin tak menyebut kapan pastinya PP itu selesai direvisi. Yang pasti, setelah pemerintah menyelesaikan substansi materi revisi, PP akan dibawa ke Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional yang terdiri atas perwakilan pemerintah, pekerja, dan pengusaha.
Substansi yang berubah dari adanya perppu itu, lanjut Putri, terkait beberapa hal. Di antaranya, dalam UU Cipta Kerja tidak diatur jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan atau outsourcing. Artinya, semua jenis pekerjaan dibebaskan. "Perppu ini mengatur pembatasan jenis pekerjaan. Alih daya dilakukan oleh beberapa jenis pekerjaan yang secara detail akan diatur dalam PP," ujar Putri.
PP 35 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja juga akan diubah. "Kami dalam proses perubahan," ungkapnya. Alasan perubahan itu adalah memberikan kesempatan bagi pekerja menjadi karyawan tetap. Kalau di UU Cipta Kerja, perusahaan memiliki peluang untuk tidak mengangkat karyawannya menjadi pekerja tetap.
Selanjutnya, yang berubah adalah terkait upah minimum. Formula pengupahan yang sebelumnya diatur Permenaker No 18 Tahun 2022 dan diterapkan tahun ini tidak sepenuhnya digunakan. PP 36/2021 terkait pengupahan yang merupakan turunan UU Cipta Kerja, menurut Putri, akan diubah pula. "Yang menarik di perppu ini, pemerintah pusat dapat menetapkan upah minimum (daerah) yang sedang terjadi bencana nasional," ucapnya.
Menaker Ida Fauziyah pada kesempatan lain menyebutkan, perubahan substansi ketenagakerjaan mengacu pada hasil serap aspirasi UU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah di beberapa daerah. Di antaranya, Manado, Medan, Batam, Makassar, Jogjakarta, Semarang, Balikpapan, dan Jakarta. Bersamaan dengan itu, telah dilakukan kajian oleh berbagai lembaga independen. "Pertimbangan utamanya adalah penciptaan dan peningkatan lapangan kerja, perlindungan pekerja/buruh, dan juga keberlangsungan usaha," ungkapnya.
Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar secara terpisah menyatakan, perppu anyar itu tidak tepat jika disebut memberikan perlindungan kepada pekerja dan pengusaha. Dia menyoroti munculnya bab mengenai alih daya yang nanti secara teknis diatur dalam PP. "Akan membuka ruang bebas kepada pemerintah mengatur dan merevisinya sehingga menciptakan ketidakpastian bagi pekerja dan pengusaha," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Indah Anggoro Putri menegaskan bahwa Indonesia tidak mengenal sistem pengupahan ‘no work, no pay’ atau tidak bekerja tidak dibayar.
Hal ini disampaikan guna merespons permintaan pengusaha agar bisa memberlakukan asas no work no pay untuk meminimalisir dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). "Negara ini tidak mengenal istilah (pengupahan) no work, no pay," kata Indah Anggoro Putri dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (6/1).
Ia menjelaskan, jika perusahaan mengalami kesulitan finansial dapat menyelesaikannya dengan menggelar dialog bipartrit bersama pegawai. Kemudian, hasil dari dialog tersebut dapat dicatat secara tertulis dan dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat. ‘’Jadi, Kalau ada kebijakan fleksibilitas jam kerja dan upah itu harus berdasarkan kesepakatan bipartit antara pengusaha dan pekerja. Hasilnya harus tertulis kesepakatannya, kemudian dicatat ke Dinas Tenaga Kerja," jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat industri tekstil kehilangan 50 ribu pekerja pada periode Agustus 2022. Bahkan, badai pemutusan hubungan kerja (PHK) masih akan terus menghantui imbas kurangnya daya beli dunia dan domestik Indonesia.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Anne Patricia Sutanto mengatakan, guna meminimalkan dampak PHK tahun 2023 pengusaha meminta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) untuk menerbitkan peraturan menteri ketenagakerjaan atau permenaker tentang jam kerja fleksibel atau flexible working hours. Ini dilakukan agar pihaknya bisa memberlakukan asas ‘no work, no pay’.
Anne yang juga mewakili para pengusaha yang tergabung dalam APINDO, API, APRISINDO serta Asosiasi Garmen yang dimiliki oleh Korea dan Jepang meminta Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah untuk merilis aturan agar perusahaan bisa memberlakukan jam kerja minimal 30 jam seminggu.
‘’Saat ini kan undang-undang kita menyatakan 40 jam seminggu. Untuk mengurangi jumlah PHK supaya fleksibilitas itu ada dengan asas no work no pay saat tidak bekerja," kata Anne dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI dan Menaker, Selasa (8/11/2022).
Lebih lanjut, ia juga meminta dukungan kepada Komisi IX DPR RI untuk merestui aturan yang harapannya bisa dikeluarkan menaker. Sehingga perusahaan bisa mengurangi jumlah orang yang terkena PHK. ‘’Oleh karena itu kami mohon kepada komisi IX untuk mengurangi jumlah orang yang di PHK bisa merestui adanya suatu kebijakan dari kemenaker dalam bentuk permenaker sehingga bisa diterima oleh buyers atau global brands yang selalu menginginkan adanya rules of law dari social compliance dari dunia usaha," ujarnya.‘’Kami ingin ini disosialisasikan dalam permenaker dan direstui oleh Komisi IX," ujarnya.(lyn/c7/ttg/das)