BMKG Imbau Masyarakat Hemat Air

Nasional | Senin, 24 Juli 2023 - 11:44 WIB

BMKG Imbau Masyarakat Hemat Air
Ilustrasi (INTERNET)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak musim kemarau tahun ini akan lebih kering dari sebelumnya. Hal ini menyusul adanya fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang datang dalam waktu bersamaan.

Plt Deputi Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan bahwa sepanjang musim kemarau ini, sektor pertanian akan dapat terdampak. Terutama lahan pertanian tadah hujan yang masih menggunakan sistem pertanian tradisional yang sangat bergantung pada iklim dan curah hujan.


Selain itu, kondisi kekeringan ini juga dapat menjadi kondisi yang berujung kepada bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang jika tidak terkendali dapat menimbulkan krisis kabut asap.

“Dan ini tidak hanya berdampak terhadap kualitas lingkungan, tetapi juga ekonomi, sosial, hingga kesehatan masyarakat. Belum lagi, di musim kemarau, udara akan menjadi lebih kering dan banyak debu sehingga juga sangat rentan terhadap penyebaran penyakit,” ujarnya.

Ardhasena juga mengingatkan semua pihak untuk menghemat penggunaan air di dalam maupun di luar rumah. Kemarau kering yang melanda akibat El Nino dan IOD Positif diperkirakan akan membuat debit air sungai maupun sumber mata air mengalami penurunan. Di mana, hal tersebut dapat berdampak pada ketersediaan dan pasokan air bersih.

“Gunakan bak penampung guna mengantisipasi kelangkaan air. Biasakan matikan kran saat tidak digunakan, atur jadwal menyiram tanaman dan mencuci kendaraan, pakailah air sesuai kebutuhan,” tuturnya.

Hal senada diungkapkan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati. Menurutnya, ancaman gagal panen pada lahan pertanian tadah hujan dapat terjadi. Di mana, situasi tersebut berpotensi mengganggu ketahanan pangan nasional.

“Karena itu, pemerintah daerah perlu segera melakukan aksi mitigasi dan aksi kesiapsiagaan. Lahan pertanian berisiko mengalami puso alias gagal panen akibat kekurangan pasokan air saat fase pertumbuhan tanaman,” ungkapnya, Ahad (22/7).

Namun, meski begitu, lanjut Dwikorita, untuk di sektor perikanan dalam kondisi tersebut biasanya justru berpotensi meningkatkan tangkapan ikan. Hal tersebut terjadi karena perubahan suhu laut dan pola arus selama El Nino dan IOD positif yang mendingin. “Karena itu, peluang dari kondisi ini harus dimanfaatkan, sehingga dapat mendukung ketahanan pangan nasional,” jelasnya.

Dwikorita menyebutkan fenomena El Nino dan IOD positif yang saling menguatkan membuat musim kemarau tahun ini dapat menjadi lebih kering dan curah hujan pada kategori rendah hingga sangat rendah.

Jika biasanya curah hujan berkisar 20 mm per hari, maka pada musim kemarau ini menjadi sebulan sekali atau bahkan tidak ada hujan sama sekali. “Puncak kemarau kering ini diprediksi terjadi pada Agustus hingga awal September dengan kondisi akan jauh lebih kering dibandingkan 2020, 2021, dan 2022,” terangnya.

Berdasar pengamatan BMKG, indeks El Nino pada Juli ini mencapai 1,01 dengan level moderate, sementara IOD sudah memasuki level index yang positif. Sebelumnya, pada Juni hingga dasarian 1 bulan Juli, El Nino masih dalam level lemah sehingga dampaknya belum dirasakan. Namun, selang setelah itu, dalam waktu yang bersamaan, El Nino dan IOD positif yang sifatnya global dan skala waktu kejadiannya panjang dalam hitungan beberapa bulan terjadi dalam waktu yang bersamaan.

“Dalam rentang waktu tersebut sebagian wilayah Indonesia masih ada yang diguyur hujan akibat adanya dinamika atmosfer regional yang bersifat singkat, sehingga pengaruh El Nino belum dirasakan secara signifikan,” ucap Dwikorita.

Sedangkan, Kepala Divisi Kampanye WALHI Puspa Dewy mengungkapkan, persoalan ancaman kekeringan di Indonesia akibat iklim bukan tahun ini saja. Karena itu, seharusnya BMKG meminta kepada pemerintah untuk menyiapkan skema-skema menghadapi ancaman yang akan terjadi ini. Bagaimana skema pemerintah untuk memastikan ketersediaan air dan kualitas airnya.

“Begitupun skema terhadap petani yang dapat mengalami gagal panen. Apakah ada asuransi atau subsidi atau jaminan terhadap keluarga petani yang mengalami gagal panen. Sampai saat ini, belum ada skema tersebut,” ujarnya.(gih/das)

Laporan JPG, Jakarta









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook