RIAUPOS.CO - Pemberian obat penawar (antidotum) menjadi salah satu langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menekan peningkatan angka kematian anak-anak yang teridentifikasi penyakit gagal ginjal akut. Obat penawar yang diimpor dari Singapura itu sejauh ini cukup ampuh memulihkan anak-anak dari penyakit misterius tersebut.
Juru Bicara Kemenkes dr Mohammad Syahril mengatakan, antidotum itu sudah didistribusikan ke seluruh rumah sakit yang merawat pasien acute kidney injury (AKI) tersebut. Seluruh biaya terkait antidotum itu gratis. ”Biaya akan ditanggung Kementerian Kesehatan,” ujarnya dalam diskusi dalam jaringan (daring) kemarin (22/10).
Syahril menerangkan, obat penawar itu merupakan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO). Sejauh ini, antidotum telah diberikan kepada anak-anak pengidap AKI yang dirawat di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Dari laporan Kemenkes, kondisi anak yang mendapat obat penawar itu cenderung membaik.
”Ada perubahan yang bagus dari pasien (setelah diberi antidotum, Red). Mulai keluar air kencingnya, keadaannya juga membaik,” ungkap Syahril.
Meski begitu, Syahril menyebut, tak semua pasien AKI mengalami reaksi positif setelah diberi antidotum. Ada yang tidak mengalami perubahan setelah mendapat obat penawar.
Dewan Pakar Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Prof Keri Lestari mengungkapkan, langkah pemulihan menggunakan antidotum pernah dilakukan terhadap pasien-pasien AKI di Amerika Serikat sekitar 1990 silam. Saat itu, ada anak-anak yang menjadi korban cemaran senyawa etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), atau EG monometil eter tersebut.
Syahril menambahkan, selain melakukan pemulihan menggunakan antidotum, Kemenkes saat ini terus menyisir anak-anak yang terjangkit penyakit gagal ginjal akut. Dari pendataan terakhir, baru 22 provinsi yang disisir. Totalnya, ditemukan 241 anak mayoritas usia di bawah 5 tahun (balita) yang teridentifikasi penyakit AKI. Sebanyak 133 di antaranya meninggal dunia.
”Ini kami sedang sisir seluruh provinsi,” ujarnya. Menurut dia, dokter anak punya peran penting untuk membantu pendataan. Khususnya pendataan di luar rumah sakit. ”Memang harus ada pendataan yang akurat dari dokter anak,” ungkapnya.
Terpisah, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menegaskan, setiap produk obat yang dihasilkan oleh industri farmasi dalam negeri sudah mengikuti standar cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dan memenuhi persyaratan mutu sesuai farmakope Indonesia atau kompendial lainnya.
’’Kasus ditemukannya etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas pada obat sirup merupakan kejadian yang tidak diharapkan oleh industri farmasi,” jelasnya di Jakarta. Kemenperin terus mendorong perusahaan-perusahaan industri farmasi untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap produk-produk yang dihasilkan. ’’Serta terus memantau perkembangan informasi dari kementerian dan lembaga terkait,” imbuhnya.
Dari hasil investigasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ditengarai kedua zat tersebut merupakan cemaran. Bukan bahan baku tambahan yang digunakan pada formulasi dan proses produksi obat sirup. Cemaran itu diduga berasal dari empat bahan baku tambahan, yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol.
Menurut Agus, empat bahan itu bukan bahan berbahaya atau dilarang dalam pembuatan sirup obat. Empat bahan tersebut telah digunakan sejak lama. Namun, baru dua yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Yaitu, sorbitol dengan kapasitas 154.000 ton per tahun dan gliserin sebesar 883.700 ton per tahun. Sedangkan propilen glikol dan polietilen glikol belum dapat diproduksi dalam negeri sehingga harus impor.
Agus menyebut, Kemenperin telah berkoordinasi dengan industri farmasi yang produknya mengandung cemaran EG dan DEG melewati ambang batas aman. Pihak industri menyatakan bahwa tidak ada penggunaan bahan baku EG maupun DEG pada proses produksi. Karena itu, EG dan DEG diduga berasal dari cemaran bahan baku tambahan lain yang disebutkan di atas.
’’Sebagai tindak lanjutnya, industri terus melakukan evaluasi internal, pengujian kandungan cemaran bahan baku pada laboratorium independen, serta berkoordinasi untuk melakukan penarikan produk dari pasar. Hal ini sejalan dengan komitmen industri farmasi untuk memproduksi produk obat yang aman, berkhasiat, dan bermutu,” jelas Agus.
Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani mendesak pemerintah menaikkan status AKI menjadi kejadian luar biasa (KLB). Dengan begitu, penanganan bisa lebih optimal. Pihaknya juga meminta dibentuk tim independen pencari fakta. Tim independen itu bertugas menelusuri lebih jauh penyebab gagal ginjal akut dan upaya surveilans ke daerah.
”Kami tahu Kemenkes bekerja, BPOM bekerja, tapi ini harus tertampung dalam satu tim. Ada IAI, IDAI yang harus terlibat di dalamnya,” ucapnya. Tim itu diharapkan dapat menemukan fakta-fakta mengenai EG dan DEG yang melampaui ambang batas pada sejumlah merek obat. Di mana letak kesalahan yang terjadi, apakah saat produksi atau justru ketika sudah diedarkan. ”Ini perlu ditelusuri. Kalau ada pelanggaran, tentu harus diproses,” tegasnya.
Komisinya juga akan mengusulkan panitia kerja (panja) khusus untuk mengusut kasus yang telah menewaskan lebih dari 100 anak tersebut.
Kapolri Diminta Usut Potensi Pidana
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy kemarin (022/10) melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke apotek-apotek di Kota Bogor, Jawa Barat. Didampingi Wali Kota Bogor Bima Arya, Muhadjir ingin memastikan pihak apotek menaati instruksi Kemenkes untuk tidak menjual obat bebas dalam bentuk sirup sementara. Hal itu sesuai Surat Edaran (SE) Nomor SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury).