Kemenkeu Tepis Tudingan Gagal Sistemik

Nasional | Minggu, 23 Juli 2023 - 08:46 WIB

Kemenkeu Tepis Tudingan Gagal Sistemik
Yustinus Prastowo (INTERNET)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Baru-baru ini Director Political Economy & Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyebut Indonesia masuk kategori gagal sistemik. Anthony mengatakan, pada APBN 2022 negara membayar bunga pinjaman lebih besar, yakni Rp386,3 triliun. Jumlah itu lebih besar dibandingkan dengan anggaran kesehatan atau pendidikan yang hanya Rp176,7 triliun. Menurut dia, hal itulah yang menjadikan Indonesia gagal secara sistemik.

Pernyataan tersebut dibantah Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo. ’’Indonesia jauh dari gagal sistemik. Ekonomi Indonesia tumbuh stabil di atas 5 persen pada enam kuartal berturut-turut,’’ ujar Prastowo dalam akun Twitter-nya yang dikutip kemarin (22/7).


Dia menjelaskan, dalam APBN, pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan masih lebih tinggi daripada biaya bunga. Sementara itu, pengeluaran untuk sektor kesehatan memang lebih rendah daripada pengeluaran untuk bunga utang. Namun, hal itu bukan hal baru. ’’Sejak belasan tahun lalu lebih rendah dan terus mengalami peningkatan hingga saat ini. Apa kita bilang sejak itu gagal sistemik? Tidak!’’ tegasnya.

Prastowo melanjutkan, utang juga dimanfaatkan untuk pembangunan lewat belanja publik lainnya, seperti belanja perlindungan sosial dan belanja infrastruktur. Struktur dan tipologi utang Indonesia berbeda dengan yang menjadi catatan PBB untuk negara miskin berkembang.

Seperti diketahui, pernyataan Anthony juga menyertakan potongan video Sekjen PBB Antonio Guterres yang menyatakan bahwa sekitar 3,3 miliar orang atau hampir separo umat manusia tinggal di negara yang lebih banyak membelanjakan untuk pembayaran bunga utang daripada pendidikan atau kesehatan. Hal itu lantas disebut sebagai kegagalan sistemik.

Prastowo melanjutkan, laporan PBB juga menyoroti beberapa tantangan pembiayaan bagi negara berkembang, seperti bunga utang yang tinggi. Yield utang Indonesia yang berada di kisaran 6 persen memang lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara maju. Namun, dibandingkan negara berkembang lainnya, yield utang Indonesia relatif rendah. Sebagai contoh, yield utang negara-negara Afrika berada di kisaran 11–15 persen.

Selain beban bunga yang tinggi, tantangan pembiayaan bagi negara berkembang yang disebutkan PBB adalah tingginya utang luar negeri pemerintah dan denominasi utang yang menimbulkan risiko eksternal. Di Indonesia sendiri, porsi utang domestik sebesar 72,60 persen (per April 2023). ’’Indonesia relatif lebih aman dari gejolak global,’’ imbuh Prastowo.

Dia menyebut, membaca laporan PBB itu mestinya membuat publik bersyukur. Meski juga harus tetap waspada dan berhati-hati.

’’Perdebatan esensialnya bukan sekadar mempersoalkan ’and/or’, melainkan pesan penting PBB mengenai reformasi arsitektur keuangan global yang berkeadilan,’’ jelasnya.

Belum lama ini, Lembaga Pemeringkat S&P kembali mempertahankan peringkat (rating) kredit Indonesia pada posisi BBB outlook stabil. Keputusan itu juga merupakan cerminan Indonesia mampu melakukan konsolidasi fiskal dan didukung pertumbuhan pendapatan yang solid.

’’Indonesia tidak pernah gagal bayar sepanjang sejarah,’’ tegas Prastowo.(dee/c7/oni/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook