PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Terdakwa tindak pidana korupsi (tipikor) Annas Maamun membacakan nota pembelaan pribadinya pada sidang Tipikor di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru. Mantan Gubernur Riau ini hadir secara virtual, membacakan nota pembelaannya yang ditulis tangan dari rumah tahanan Sialang Bungkuk, Kamis (21/7).
Pada momen tersebut, Annas Maamun terisak-isak, hampir menangis ketika meminta hukuman diringankan. Awalnya, pada sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Dahlan itu, Annas Maamun membacakan nota pembelaannya dengan suara cukup lantang. Namun ketika memohon agar divonis ringan ke hakim dan menyebutkan ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama anak cucu, suara Annas mulai terbata-bata.
"Dengan segala kerendahan hati saya mohon kepada yang mulia hakim, kiranya memberikan putusan yang seringan-ringannya. Saya memohon kepada jaksa agar tidak ada lagi upaya banding. Di usia lanjut ini, saya ingin berada di tengah anak cucu saya. Berikanlah saya kesempatan untuk kembali ke anak cucu saya jelang akhir masa hidup saya. Saya berharap saat saya dipanggil Allah dapat disaksikan oleh anak cucu saya,"ujar Annas Maamun terisak.
Pria yang pernah menjabat Ketua DPRD dan Bupati Rokan Hilir (Rohil) ini menyebutkan, dirinya yang kini sudah berusia 83 tahun memiliki 10 anak dan 20-an cucu yang sudah lama tidak dijumpainya. Putra Bagansiapiapi ini juga berharap dirinya tidak lagi dituntut masalah hukum setelah dihukum dalam kasus gratifikasi yang kini mendakwanya.
Sementara terkait tuntutan dan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Annas Maamun membenarkan telah terjadi bagi-bagi uang kepada sejumlah Anggota DPRD Riau periode 2009-2014. Namun dirinya membantah dakwaan bahwa dirinya aktor utama dalam perkara tersebut. Annas Maamun menyebutkan Wan Amir Firdaus yang saat itu menjabat Asisten Bidang Ekonomi Pembangunan yang mencetuskan ide tersebut.
"Saya menolak dakwaan bahwa saya adalah inisiator. Inisiatornya adalah Asisten I Bidang Pembangunan Wan Amir Firdaus. Dia yang menentukan anggota DPRD yang menerima dan dia yang mencari uangnya. Saya tidak menyangka kesalahan saya dalam hal ini mengapa saya tidak melarang,"kata Annas Maamun membela diri.
Annas Maamun juga menyebutkan memang ada rapat pada tanggal 1 September 2014 di Rumah Dinas Gubernur Riau yang dihadiri Tim TAPD dan anggota DPRD Riau. Dalam rapat tersebut secara bersama-sama merumuskan soal bagi-bagi uang ke anggota DPRD Riau tertentu.
"Permintaan uang itu atas permintaan dari anggota DPRD Riau, semua sepakat. Kalau ada perbedaan pendapat dan menyampaikan kepada saya supaya tidak memberikan, maka ini tidak akan terjadi,"ungkapnya.
Annas Maamun dalam pembelaannya juga menilai para saksi pada perkara itu sepakat mengatakan tidak tahu dan lupa dalam persidangan. Para saksi menurutnya sepakat memberi keterangan bohong untuk memojokkan dirinya dan ingin menimpakan semua kesalahan kepadanya. Para saksi menurutnya ingin menyelamatkan diri masing-masing.
Sementara terkait dakwaan telah menjanjikan pinjam pakai mobil kemudian bisa dimiliki lewat lelang yang diprioritaskan kepada anggota DPRD Riau, Annas Maamun juga membantah. Dirinya memang pernah menyampaikan pinjam pakai mobil dinas ke anggota DPRD Riau. Namun yang dapat pinjam pakai hanya mereka yang masih terpilih, sedangkan yang tidak terpilih tidak boleh menerima pinjam pakai.
Sementara itu, terkait pengajuan yang dilakukan Rusli Ahmad, menurut Annas Maamun adalah pengajuan pribadi. "Saya disposisikan hal itu dengan catatan sesuai ketentuan dan aturan yang berlaku kepada Sekda dan Biro Perlengkapan. Bila itu dikatakan bahwa saya dimaksudkan untuk menyuap, itu adalah tidak benar,"tegas Annas Maamun.
Usai pembacaan pembelaan, Ketua Majelis Hakim Dahlan menanyakan kepada JPU apakah akan menanggapi pembelaan pribadi Annas Maamun tersebut. Ketika JPU menjawab akan menanggapi secara lisan, Dahlan menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda sidang putusan.
Bermula dari APBD-P 2014 dan APBD 2015
Sebelumnya, JPU dalam dakwaannya menyebutkan, dugaan suap yang dilakukan terdakwa sebesar Rp1,01 miliar itu terjadi pada medio Juli-September 2014 silam. Uang itu diberikan terdakwa untuk Johar Firdaus selaku Ketua DPRD Provinsi Riau periode 2009-2014, Suparman, Ahmad Kirjauhari, Riky Hariansyah, Gumpita, dan Solihin Dahlan selaku anggota DPRD Riau periode 2009-2014.
"Maksud dan tujuan terdakwa menyerahkan uang tersebut adalah agar DPRD Provinsi Riau periode tahun 2009-2014 segera mengesahkan APBD Provinsi Riau Tahun Anggaran 2015 sebelum digantikan oleh Anggota DPRD Provinsi Riau hasil pemilu legislatif tahun 2014,"sebut Jaksa dalam dakwaan.
Untuk merealisasikan hal tersebut pada tanggal 1 September 2014 terdakwa melalui Wan Amir Firdaus memerintahkan kepala dinas di lingkungan Pemprov Riau untuk mengumpulkan uang dan diserahkan kepada terdakwa melalui Wan Amir dan Suwarno. Lalu, sekitar pukul 18.00 WIB, Wan Amir menyerahkan 1 tas ransel warna hitam dan 2 tas kertas warna hijau yang berisikan uang sejumlah Rp1,01 miliar kepada Suwarno.
Setelah itu Suwarno mendapat telepon dari Ahmad Kirjauhari dan memintanya untuk bertemu di tempat parkir di bawah Kantor Sekretariat DPRD Provinsi Riau. Sesampainya di tempat parkir, Suwarno yang ditemani Burhanuddin meletakkan satu tas ransel dan dua tas kertas warna hijau yang berisi uang tersebut ke dalam mobil Toyota Yaris warna silver nomor polisi BM-1391-PC yang dikendarai oleh Ahmad Kirjauhari.
Hingga akhirnya, pada tanggal 4 September 2014, RAPBD 2015 disahkan menjadi Perda APBD 2015 dengan ditandatanganinya persetujuan bersama DPRD Provinsi Riau dengan Gubernur Riau tentang Rancangan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau Tahun Anggaran 2015 Nomor: 21/SKB/PIMP/DPRD/2014 dan Nomor : 63/NPB/IX/2014.
Kemudian, pada tanggal 8 September 2014 sekitar pukul 16.00 WIB bertempat di Hotel Raudah, Johar memberitahukan Riky agar mengajak Ahmad Kirjauhari datang ke salah satu kafe di Jalan Arifin Achmad. Lalu, Riky dan Kirjauhari menuju ke kafe tersebut menggunakan mobil dinas Riky dengan nomor polisi BM 1634 NK.
Sebelum sampai di kafe, Kirjauhari dan Riky singgah ke rumah makan pempek di Jalan Sumatera Pekanbaru. Lalu Kirjauhari menceritakan kepada Riky jika dirinya telah menerima uang sebesar Rp900 juta dari terdakwa untuk anggota DPRD Provinsi Riau.
Kemudian Kirjauhari bersama dengan Riky membuat catatan tentang pembagian uang tersebut. Rinciannya, Kirjauhari dan Riky mendapatkan Rp100 juta, Johar Firdaus Rp125 juta dan sisa uang Rp575 juta dibagi secara proporsional kepada 17 anggota DPRD lainnya berdasarkan jabatan anggota di DPRD Provinsi Riau. Sehingga masing-masing mendapatkan sekitar Rp30 juta hingga Rp40 juta.
Setelah Kirjauhari dan Riky membuat catatan perhitungan pembagian uang, tidak beberapa lama kemudian Johar menelepon meminta keduanya untuk segera ke kafe di Arifin Achmad. Sesampainya di kafe, Johar menanyakan uang bagiannya yang berasal dari terdakwa Annas Maamun.
Saat itu, Johar meminta bagian uang sebesar Rp200 juta. Namun karena uangnya tidak cukup, akhirnya disepakati Johar mendapatkan bagian uang sebesar Rp155 juta. Selanjutnya uang bagian Johar itu diserahkan Riky di rumah Johar di Kompleks Pemda Arengka Pekanbaru.
Akibat perbuatannya itu, terdakwa Annas Maamun dijerat dengan Pasal 5 Huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi junto Pasal 55 Ayat 1 KUHPidana.(das)
Laporan HENDRAWAN KARIMAN, Pekanbaru