Transaksi Mencurigakan Meningkat Jadi Rp349 T

Nasional | Selasa, 21 Maret 2023 - 12:47 WIB

Transaksi Mencurigakan Meningkat Jadi Rp349 T
Mahfud MD (ISTIMEWA)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menegaskan, transaksi mencurigakan dengan nilai mencapai Rp300 triliun yang menjadi sorotan belakangan ini adalah dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Keterangan itu dia sampaikan usai rapat bersama Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana di Jakarta, Senin (20/3).  Berdasar data terbaru, dugaan TPPU yang terdeteksi oleh PPATK tersebut sudah menyentuh angka Rp349 triliun.


Namun demikian tidak seluruhnya diduga melibatkan pegawai Kemenkeu. ”Berkali-kali saya katakan, ini bukan laporan korupsi. Tapi, laporan tentang dugaan tindak pidana pencucian uang yang menyangkut pergerakan transaksi mencurigakan,” ungkap Mahfud.

Karena itu, dia meminta tidak ada yang berasumsi Kemenkeu melakukan korupsi ratusan triliun. Bahwa ada temuan transaksi mencurigakan dengan nilai ratusan triliun, kata Mahfud, itu benar adanya. Temuan tersebut sesuai dengan hasil penelusuran PPATK.

Dia pun mencontohkan beberapa modus TPPU yang terjadi. Pertama kepemilikan saham pada perusahaan atas nama keluarga, kedua kepemilikan aset berupa barang bergerak maupun tidak bergerak atas nama pihak lain, serta ketiga membentuk perusahaan cangkang.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyampaikan bahwa TPPU dilakukan untuk mengelola hasil kejahatan. ”Sebagai upaya agar keuntungan operasional perusahaan itu menjadi sah, kemudian menggunakan rekening atas nama orang lain untuk menyimpan hasil kejahatan,” bebernya.

Hasil kejahatan tersebut, lanjut Mahfud, bisa disimpan di safe deposit box atau tempat lainnya. Karena itu, TPPU harus dilacak sampai tuntas. Dari temuan PPATK yang telah disampaikan kepada Kemenkeu dan dibahas dalam rapat kemarin, Mahfud mengungkapkan beberapa kesepakatan. Di antaranya, Kemenkeu bakal melanjutkan dan menyelesaikan seluruh Laporan Hasil Analisis (LHA) yang diduga sebagai TPPU.

”Baik yang menyangkut pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan maupun pihak lain,” ujarnya. ”Sekali lagi tidak selalu berkaitan dengan pegawai Kementerian Keuangan,” tambah dia.

Kesepakatan berikutnya, masih kata Mahfud, jika dari laporan tersebut ditemukan alat bukti terjadinya tindak pidana, proses hukum harus berjalan. Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal wajib bekerja.

”Disidik oleh Kementerian Keuangan sebagai PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil, red), penyidik di bidang pajak dan kepabeanan. Atau mungkin saja nanti diserahkan ke aparat penegak hukum lain, penyidik lainnya. Yaitu polisi jaksa, atau KPK,” bebernya.

Menurut Mahfud, TPPU sangat berbahaya. Bahkan bisa jadi lebih berbahaya dari Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Untuk itu, pemerintah membuat Undang-Undang (UU) Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Tujuannya tidak lain guna mengejar, menangkap, dan menghukum para pelaku TPPU. ”Dalam rangka itu, mencari yang lebih besar dari korupsi,” ujarnya.

Karena itu pula temuan PPATK ditindaklanjuti bersama-sama oleh pemerintah.  Pada kesempatan yang sama, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menjelaskan secara rinci terkait dugaan transaksi mencurigakan Rp349 triliun di Kemenkeu.

Ani menjelaskan, Kepala PPATK melayangkan surat pada 7 Maret 2023 kepada Kemenkeu. Surat itu berisi seluruh surat kepada Kemenkeu, terutama Inspektorat Jenderal (Itjen) dari periode 2009-2023, totalnya 196 surat. ”Surat ini tanpa ada nilai transaksinya. Jadi, hanya berisi nomor surat, tanggal surat, nama-nama orang yang ditulis oleh PPATK, dan kemudian tindak lanjut dari Kemenkeu,” jelas Ani.

Terhadap 196 surat itu, Itjen Kemenkeu sudah melakukan seluruh langkah tindak lanjut dengan landasan hukum PP nomor 94 tahun 2010 mengenai ASN. ”Termasuk mulai dulu Gayus (Tambunan) sampai sekarang. Ada yang sudah kena sanksi, ada yang kena penjara, ada yang dalam hal ini diturunkan pangkat,” ujarnya.  

Tak lama kemudian, muncul statement adanya surat PPATK terkait angka Rp 300 triliun. Padahal, saat berita itu muncul, Ani mengaku belum menerima adanya surat PPATK berisi angka Rp300 triliun.

Ani baru menerima surat kedua pada 13 Maret. Surat setebal 46 halaman itu berisi rekapitulasi hasil analisis dan pemeriksaan serta informasi transaksi keuangan yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Kemenkeu untuk periode 2009-2023. ”Lampirannya 300 surat dengan nilai transaksi Rp349 triliun,” ujar dia.

Kemudian, dari 300 surat itu berisi 65 surat transaksi keuangan perusahaan atau badan atau perorangan yang tidak ada pegawai Kemenkeu di dalamnya. Hanya saja, PPATK tetap meneruskan laporan kepada Kemenkeu karena terkait tugas dan fungsi Kemenkeu di bidang ekspor dan impor. ”65 surat itu nilainya Rp253 triliun. Artinya PPATK menengarai ada transaksi di dalam perekonomian entah itu perdagangan, pergantian properti yang mencurigakan kemudian dikirim ke kami untuk mem-follow up sesuai tugas dan fungsi kita,” urai Bendahara Negara.

Kemudian, 99 surat lainnya merupakan temuan PPATK yang dikirimkan kepada aparat penegak hukum (APH) dengan nilai transaksi Rp74 triliun. Lalu, terdapat 135 surat terkait transaksi mencurigakan yang dikirimkan ke Kemenkeu, yang di dalamnya juga berkaitan dengan pegawai Kemenkeu. ‘’Nilainya jauh lebih kecil, karena yang tadi Rp253 triliun plus Rp74 triliun itu sudah lebih dari Rp300 triliun,’’ jelas mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.

Ani memastikan, Kemenkeu telah dan terus melakukan penindakan sesuai aturan yang berlaku. Dia mencontohkan dengan mantan pegawai-pegawai DJP yang bermasalah sebelumnya. ”Dulu disebutkan Gayus itu jumlahnya Rp1,9 triliun sudah dipenjara. Kemudian ada lagi, saudara Angin Prayitno, itu disebutkan transaksinya Rp14,8 triliun, itu juga sudah dipenjara,” tegasnya.

Sementara itu, terkait temuan PPATK yang menyangkut badan usaha atau perorangan nonpegawai Kemenkeu juga terus ditindaklanjuti oleh DJP dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Sejauh ini, DJP telah berhasil menindaklanjuti 17 kasus TPPU dengan menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp7,88 triliun, sementara DJBC telah menindaklanjuti 8 kasus yang menambah pemasukan negara sebesar Rp1,1 triliun.  ”Ini untuk menjelaskan kepada publik, Kemenkeu tidak akan berhenti, bahkan kami secara proaktif minta kepada PPATK untuk menjalankan tugas menjaga keuangan negara,” jelasnya.

Di saat bersamaan, pemerintah saat ini sedang mengkaji secara komprehensif soal kelembagaan DJP Kemenkeu. Kajian itu membahas dua opsi. Yaitu DJP tetap di bawah naungan Kemenkeu atau terpisah. DJP bisa menjadi lembaga terpisah seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau sejenisnya.(dee/syn/wan/das)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook