JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3, Mahfud MD mengungkapkan 84 persen dari jumlah koruptor merupakan lulusan perguruan tinggi. Karena itu, Mahfud mengingatkan tidak hanya mengutamakan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi mengabaikan aspek iman, takwa, dan akhlak.
Pernyataan itu disampaikan Mahfud saat menyampaikan orasi ilmiah di Universitas Negeri Padang, Ahad (17/12/2023).
"Jumlah koruptor di Indonesia itu 84 persen dari koruptor di Indonesia itu adalah lulusan perguruan tinggi. Sekitar 900 orang adalah lulusan perguruan tinggi," kata Mahfud.
Mahfud mengingatkan, saat sudah menyandang gelar sarjana, ia mewanti-wanti agar setiap lulusan berhati-hati. Sebab, jika gagal akan berpengaruh pada jenjang kehidupan jangka panjang. Menurut Mahfud, mahasiswa yang gagal dalam satu mata kuliah masih bisa kembali mengulang pada semester berikutnya jika masih berada di dalam kampus. Namun, ini tidak berlaku di masyarakat.
"Ketika Anda gagal atau salah di tengah-tengah masyarakat maka cukup sulit untuk memperbaikinya," ungkap Mahfud.
Menko Polhukam ini berpendapat, ijazah hanya sebagai bukti bahwa seseorang ahli dalam bidang ilmu tertentu. Namun, ijazah belum tentu menandakan seseorang adalah barisan intelektual. Ia lantas mengutip pernyataan, Wakil Presiden RI Bung Hatta tentang tanggung jawab inteligensia, karena menurut Bung Hatta sarjana belum tentu intelek. Sebab, sarjana merupakan suatu keahlian informal sedangkan intelektualitas adalah kemuliaan moral.
Oleh karena itu, setiap lulusan harus mampu menjadi seorang intelek bukan hanya sebatas sarjana.
"Kerap kali kesarjanaan itu bisa digunakan sebagai alat untuk menipu," ujar alumni Universitas Gadjah Mada tersebut.
Ia pun mencontohkan seorang ahli hukum seperti pengacara, akademisi, hakim, jaksa dan sebagainya, sengaja menggunakan keahliannya untuk menipu orang. Ia menyesalkan, pasal-pasal hukum tersebut tidak dapat diperjualbelikan.
“Kalau intelektual, tumpuannya moral,” pesan Mahfud.
Mahfud juga mengingatkan agar semua pihak tidak sombong dalam menggunakan sebuah logika. Sebab, di atas logika masih ada lagi yang bisa menunjukkan kebenaran di samping kebenaran logis.
“Oleh karena itu, tidak boleh ada individu yang sombong dengan sebuah ilmu, namun juga harus mengutamakan perilaku mulia dan memihak kepentingan Masyarakat,” ungkap dia.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman