JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah meluruskan kehebohan publik terkait isu penghapusan listrik 450 VA yang beredar dalam sepekan terakhir.
Said dituding sebagai pengusul penghapusan listrik untuk warga miskin itu dalam rapat panitia kerja DPR mengenai asumsi dasar RUU APBN 2023, Senin (12/9).
Said Abdullah menjelaskan, peralihan energi dari berbasis minyak bumi menuju listrik perlu dilakukan. Sebab saat ini Indonesia ketergantungan impor yang sangat besar terhadap minyak bumi.
Kemampuan produksi minyak bumi hanya 614.000-650.000 barel, sementara keperluan mencapai 1,4-1,5 juta barel per hari. Karena itu, ketergantungan terhadap impor minyak bumi mengakibatkan Indonesia terjebak dalam posisi sulit.
"APBN harus mengongkosi subsidi yang kian besar, sehingga postur APBN tidak sehat dan rentan. Namun bila ongkos tersebut dikurangi berakibat harga bahan bakar minyak (BBM) naik, dan menimbulkan beban kepada rakyat," kata Said Abdullah dalam keterangan tertulisnya, Ahad (18/9).
Dari persoalan itu, kata Said, Indonesia sebenarnya memiliki jalan untuk segera melakukan peralihan energi. Sebab, negara ini memiliki produksi listrik dalam negeri yang sangat besar dan sanggup menopang keperluan energi. Sebagian pembangkit listrik di Indonesia bersumber dari batubara sementara ketersediaan sumber energi itu melimpah.
"Pasokan batubara kita sangat besar, sehingga tidak bergantung terhadap suplai impor layaknya minyak bumi. Dampaknya kekuatan energi kita lebih mandiri, sambil secara perlahan kita melepaskan diri dari batubara dan mengganti pembangkit listrik kita menggunakan Energi Baru dan Terbarukan (EBT)," ujar Said.
Peralihan energi dari minyak bumi ke listrik itu, kata politikus PDIP ini, tentu tidak menyasar ke seluruh masyarakat. Sebab, sebanyak 9,55 juta Rumah Tangga (RT) berdaya listrik 450 VA masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Kelompok rumah tangga ini masuk kategori kemiskinan parah, yang oleh BPS termasuk keluarga berpenghasilan kurang dari USD 1,9 per hari dengan kurs Purchasing Power Parity (PPP).
"Terhadap kelompok rumah tangga seperti ini tentu saja tidak mungkin listriknya kita naikkan dayanya ke 900 VA. Untuk makan saja susah dan keperluan listriknya rata rata hanya untuk penerangan dengan voltase rendah," kata Said.(jpg)