JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- DIREKTORAT Jenderal Pelayanan Masyarakat menetapkan batasan tarif tertinggi pemeriksaan rapid test antigen sebesar Rp250.000 untuk Pulau Jawa dan Rp275.000 untuk di luar Pulau Jawa. Ketetapan ini tertuang dalam Surat Edaran No HK.02.02/I/4611/2020 yang dikeluarkan kemarin. Rapid test antigen merupakan salah satu cara untuk mendeteksi adanya materi genetik atau protein spesifik dari virus SARS CoV-2. Tes Antigen dilakukan pada saat akan melakukan aktivitas perjalanan orang dalam negeri dengan masa berlaku selama 14 hari.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Azhar Jaya menyatakan bahwa penetapan batasan tarif tertinggi ini sebagai bentuk kepastian terhadap disparitas harga. Menurutnya penetapan biaya rapid test antigen melalui pembahasan bersama antara Kementerian Kesehatan dengan BPKP berdasarkan hasil survei dan analisa pada fasilitas pelayanan kesehatan.
Deputi Pengawan Bidang Kemanan dan Pertahanan BPKP Faisal menyebutkan penetapan batas tarif tertinggi Rapid Tes Antigen sesuai dengan komponen dan bisnis. Yang dihitung mulai dari pengambilan sampel, proses pengolahan sampel hingga pengelolaan limbah medis. Selain itu, turut diperhitungkan sumberdaya manusia yang terlibat dan biaya administrasi. "Selama 2 hari ini kita telah menghitung struktur biaya dengan mempertimbangkan bisnis proses dari rapid test antigen-swab," kata Faisal.
Sementara pemerintah daerah seperti DKI Jakarta menerapkan syarat khusus bagi pelancong yang datang. Namun operator transportasi tetap berkiblat pada aturan lama. Sementara itu, harga rapid test antigen sudah ditentukan harga tertingginya.
"Bagi calon penumpang yang belum memiliki rapid antigen masih tetap diperbolehkan," suara perempuan melalui pengeras suara di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Jumat (18/12).
Antrean cukup panjang di bagian pemeriksaan medis. Yang antre adalah calon penumpang pesawat. Denny Suryo yang akan ke Jogja memilih melakukan rapid di bandara. Menurutnya lebih efektif dan sekali jalan.
"Saya sampai sini (Bandara Soekarno Hatta, red) empat jam sebelum keberangkatan," ucapnya.
Selain merasa lebih efektif, dia ingin memastikan terkait syarat rapid antigen. Seandainya syarat rapid antigen digunakan maka dia akan melakukan rapid tersebut. VP Of Corporate Communication PT Angkasa Pura II Yado Yarismano menyatakan bahwa untuk penumpang yang datang dan tujuannya Jakarta maka disediakan tempat rapid test antigen di Bandara Soekarno Hatta. Syarat mereka yang datang ke Jakarta harus memiliki surat keterangan rapid antigen itu sesuai dengan Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 64 Tahun 2020. "Namun ketentuan di dalam SE Kemenkes RI No HK.02.01/MENKES/382/2020 yang mengatur bahwa calon penumpang pesawat sebelum keberangkatan harus menunjukkan surat hasil PCR, rapid test antibody atau antigen yang berlaku maksimal 14 hari sejak diterbitkan masih diberlakukan," ujarnya kemarin.
Tidak berbeda dengan Bandara Soetta, rapid test antigen tjuga belum diberlakukan di stasiun KA. Pantauan Jawa Pos (JPG) di Stasiun Pasar Senen Jakarta kemarin, loket rapid test masih menyediakan tes serologi yang berbasis darah. Bukan rapid test antigen yang berbasis cairan saluran pernapasan.
Salah seorang calon penumpang KA, Mutiara Syamsia, menjelaskan bahwa dia sejak awal sudah lebih dulu melakukan rapid test serologi sebelum kebijakan Pemprov DKI Jakarta keluar. Karena itu, dia sengaja datang lebih awal dari jadwal keberangkatannya untuk mencari informasi. Bahkan, dia sudah bersiap untuk rapid tes ulang.
"Tapi setelah tanya di bagian informasi tadi masih bisa pakai rapid tes biasa," ujar perempuan yang mengatakan hendak bepergian ke Surabaya itu.
Meskipun demikian, dia akan bersiap-siap untuk rapid tes ulang saat hendak Kembali ke Jakarta. "Kalau misalnya harus antigen ya antigen dari Surabaya nanti," lanjutnya.
Mengingat, dia akan Kembali lagi ke Jakarta pada 2 Januari mendatang. Penumpang lainnya, Mustangin Arif, juga menyampaikan hal senada. Dia dan istrinya dijadwalkan hari ini berangkat ke Cilacap dari Stasiun Pasar Senen. Kemarin, keduanya mengantre untuk rapid tes serologi karena masih diberlakukan. "Antisipasi saja kalau misalnya mau ke Jakarta lagi mau nggak mau harus rapid antigen dulu," terang warga Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, itu.
Di luar itu, perjalanan menggunakan KA di stasiun senen masih terlihat normal kemarin. Pantauan JPG sejak siang hingga sore, stasiun Pasar Senen tampak tidak terlampau padat. Sekitar seratusan lebih orang menanti giliran untuk menjalani rapid test di sisi selatan stasiun.
Sementara, bergeser sedikit ke Utara, ruang tunggu calon penumpang KA tidak tampak penuh. Barulah ketika petugas memanggil untuk masuk ke peron, antrean terlihat memanjang.
Protokol kesehatan terlihat diterapkan dengan cukup baik. Kursi untuk empat orang hanya bisa diduduki dua orang masing-masing di ujungnya. Kemudian, petugas keamanan stasiun terus berkeliling dan mengingatkan penumpang yang maskernya turun atau dilepas. Tempat berdiri mengantre dibuat memanjang lebih dari 20 meter dengan jarak antrean satu meter.
Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo dalam temu media posko Angkutan Natal dan Tahun Baru (Nataru) kemarin (18/12) mengatakan bahwa KAI belum memberlakukan syarat rapid test antigen. Ini sesiai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Kementrian Perhubungan. "Kami masih menunggu arahan dari Bapak Menteri Perhubungan," ucapnya.
Penerapan aturan baru ini belum efektif menurut legislatif. Anggota DPR dari Fraksi Demokrat Irwan menyebutkan bahwa penerapan ini tidak menunjukkan peningkatan yang siginifkan dalam upaya pemerintah menekan angka persebaran virus. Irwan menilai bahwa kondisi ini menegaskan pemerintah lamban dan tidak belajar dari pengalaman pandemi yang sudah berbulan-bulan ini. "Sudah hampir setahun Covid-19 melanda tapi tidak ada evaluasi dan aksi yang revolusioner," tegasnya kemarin.
Sejatinya, Irwan mengapresiasi keputusan pemerintah untuk mewajibkan rapid test antigen sebagai prasyarat perjalanan ke luar daerah. Apalagi dalam menghadapi Nataru. Tetapi pemerintah belum mengantisipasi dampaknya dan justru timbul kegaduhan pasca pengumuman kebijakan tersebut. Di samping itu, standar pelayanan juga dianggap belum siap.
"Standar pelayanan tidak diikuti di titik-titik keberangkatan transportasi. Jumlah petugas tetap, sosialisasi minim sehingga gagal falam mengantisipasi masalah pasca kebijakan keluar, dan ini terus berulang," lanjut Irwan.
Tidak heran jika kemudian penerapan di lapangan belum tegas. Kewajiban untuk menggunakan rapid test antigen belum berlaku 100 persen dan belum ada sanksi tegas juga untuk masyarakat yang tidak memenuhi syarat tersebut.
"Itu sama saja membuat masalah baru dan potensi klaster baru. Jatuhnya kebijakan ini sia-sia," pungkasnya.