JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Polemik desa fiktif dalam program dana desa sudah menarik perhatian publik. Indonesia Corruption Watch (ICW) berharap besar pemerintah lebih serius menangani persoalan tersebut. Bukan malah saling bantah. Mereka mencatat, korupsi di level desa semakin marak. Berdasar data, sejak 2015 sampai 2018 ada total 252 kasus korupsi yang terkait dengan anggaran desa dan kerugian negara mencapai Rp107,7 miliar.
Aktivis ICW Egi Primayogha menjelaskan bahwa jumlah kasus terbanyak terjadi pada 2017 dan 2018 lalu. Dengan total kasus sebanyak 194 kasus. Sedangkan dari 2015 sampai 2017 ada kenaikan cukup besar Yakni 22 kasus pada 2015, 48 kasus pada 2016, dan 98 kasus pada 2018. Dia pun menyebut beberapa modus. ”Di antaranya penyalahgunaan anggaran, laporan fiktif, penggelapan, penggelembungan, dan suap,” ujarnya.
Jumlah kepala desa yang tercatat kena kasus korupsi juga semakin banyak. Egi menyebutkan, sedikitnya 214 kepala desa yang harus berurusan dengan kasus korupsi. Dengan rincian, 15 kepala desa pada 2015, 61 kepala desa pada 2016, 66 kepala desa pada 2017, dan 89 kepala desa pada 2018. Kondisi itu membuktikan semakin banyak kepala desa berani bermain anggaran.
Walau korupsi terjadi di level desa, kerugian negara yang harus ditanggung akibat korupsi di desa-desa tidak sedikit. ”Total pada 2015-2018 negara merugi Rp107,7 miliar akibat korupsi anggaran desa,” terang Egi. Lebih mengkhawatirkan lagi lantaran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Egi menambahkan, sudah menemukan masalah dalam penyaluran dana desa. ”Penyaluran dana desa tidak berdasarkan data yang mutakhir,” ujarnya.
Egi menyebut, temuan itu ada dalam ikhtisar hasil pemeriksaan BPK semester II 2018. Terhadap kondisi itu, dia menilai bahwa seluruh instansi pemerintah yang punya tanggung jawab terhadap desa-desa harus kompak. ”Segera turun tangan untuk memeriksa secara langsung dugaan desa fiktif,” terang dia. Tentu saja bukan pemeriksaan asal, dia menyebut, pemeriksaan harus menyeluruh.
Artinya bukan hanya desa terindikasi fiktif yang sudah menyebar saja. Melainkan seluruh desa di Tanah Air. ”Dalam hal pendataan, semestinya Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa PDTT bertanggung jawab,” kata Egi. ”Verifikasi perihal data desa penting untuk dilakukan agar dana desa yang tersalurkan tak salah sasaran atau disalahgunakan,” tambahnya.
Dengan begitu data desa benar-benar akurat. Lebih lanjut, dia menambahkan bahwa masalah pendataan desa yang tidak akurat oleh pemerintah daerah harus mestinya bisa diatasi lewat mekanisme pengawasan, pembinaan, serta sinergi antara instansi. ”Semua pihak harus serius menuntaskan polemik desa fiktif. Tak boleh lagi ada silang pendapat atau upaya menutup-nutupi persoalan,” bebernya.
Tujuannya tidak lain menyelamatkan anggaran untuk rakyat di desa-desa. Karena itu, Egi menyebut, nantinya hasil pemeriksaan tersebut harus diumumkan secara terbuka kepada publik. ”Tidak boleh ada upaya menutup-nutupi dengan alasan agar tak menimbulkan kegaduhan,” imbuhnya.
Apabila desa fiktif benar-benar terbukti ada, yang paling dirugikan adalah publik. Sebab, dana desa digelontorkan dari anggaran negara yang berasal dari masyarakat.(syn/jpg)