Desakan Evaluasi Sistem PPDB Terus Menguat

Nasional | Senin, 17 Juli 2023 - 11:20 WIB

Desakan Evaluasi Sistem PPDB Terus Menguat
Ubaid Matraji (ISTIMEWA)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) didesak untuk mengevaluasi secara menyeluruh aturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Desakan ini agar karut marut PPDB tak terus menerus terulang kembali.

Tahun ini, geger PPDB bukan hanya tak masuk kuota zonasi. Tapi, ratusan “anak” yang secara gaib tiba-tiba masuk dalam kartu keluarga orang lain. Belum lagi, dugaan praktik jual beli kursi yang masih terjadi. Aksi demo pun tak terelakkan di sejumlah daerah. Sayangnya, respons pemerintah pusat dan daerah masih begitu-begitu saja.


Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai sumber kegaduhan PPDB adalah pada regulasinya sendiri. Yaitu Permendikbud No 1 tahun 2021. ’’Aturan ini ditafsirkan secara beragam oleh masing-masing pemerintah daerah,’’ katanya, Ahad (16/7).

Akibatnya di sejumlah daerah, pelaksanaan PPDB menimbulkan polemik, termasuk di Riau. Mulai dari acuan penerapan seleksi berdasarkan usia. Kemudian jalur prestasi yang tidak jelas parameternya dan manipulasi alamat sehingga masuk dalam radius zonasi sekolah negeri.

Bahkan, Ombudsman RI Perwakilan Riau menerima 21 laporan masyarakat soal PPDB tingkat SMA/SMK Negeri di Pekanbaru. Hal yang paling banyak dilaporkan ke Ombudsman Riau terkait dengan zonasi. Pelapor menduga ada permainan yang dilakukan oleh panitia PPDB di jalur zonasi.

Ubaid mengatakan dari Permendikbud 1/2021 tersebut, melahirkan aturan di daerah yang saling bertabrakan. Sehingga masyarakat menjadi gaduh. ’’Bila kegaduhan di satu atau dua daerah saja, itu yang bermasalah aturan pemdanya. Tetapi ini yang gaduh di banyak daerah,’’ jelasnya.

Selain itu Ubaid juga mengkritisi pelaksanaan PPDB yang tidak pernah diaudit. Meskipun banyak masyarakat yang dirugikan atau menjadi korban, Kemendikbudristek sama sekali tidak pernah merevisi peraturan tadi. Dia menegaskan sistem seleksi dalam PPDB harusnya menghilangkan praktik diskriminasi. Baik itu diskriminasi ekonomi atau lainnya. Tetapi ternyata diskriminasi masih saja terjadi.

’’Permendikbud 1/2021 harus direvisi atau bahkan diganti,’’ tegasnya. Kemendikbudristek harus membuat regulasi PPDB yang mengatur sampai tataran teknis. Sehingga menutup peluang untuk munculnya banyak penafsiran dari daerah-daerah.

Desakan evaluasi pun disampaikan sejumlah anggota Komisi X DPR RI. Di antaranya, Andi Muawiyah Ramly. Politikus PKB itu menyebut, masalah PPDB baik jalur zonasi, afirmasi, dan prestasi ini terus berulang dan tak pernah selesai meski berganti menteri. Karenanya, ia meminta agar kebijakan ini dievaluasi. “Kami minta ada solusi jelas tentang ini karena kami pun sangat resah melihat demo-demo yang terjadi,” ungkapnya.

Hal yang sama disampaikan Anggota Komisi X Dede Yusuf. Ia meminta Kemendikbudristek mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan PPDB agar kecurangan-kecurangan tak terulang kembali. Bila perlu, dia mengusulkan adanya konsep baru untuk PPDB tahun depan.

”Tolong Kemendikbud membuat konsep baru untuk di 2024. Zonasi sebagai hak bagi warga sekitar, tetap ada. Tapi sisanya, bisa kembali ke sekolah lagi,” katanya.

Tes ini, kata dia, tentu tetap memberi afirmasi sekian persen untuk siswa tidak mampu, disabilitas, dan berprestasi. Sehingga nantinya, tak hanya mengandalkan rapor karena rapor bisa dibesar-besarkan nilainya.

Kemendikbudristek sendiri menegaskan, bahwa PPDB menjadi kewenangan pemda. Sebab, penyelenggaraan sekolah-sekolah negeri dilakukan oleh pemda. Sehingga pengawasan atas penyelenggaraan PPDB pun jadi tanggung jawab pemda melalui inspektorat daerah.

Kendati begitu, Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang menampik tegas pihaknya cuci tangan atas persoalan yang terjadi selama PPDB. Dia mengatakan, Kemendikbudristek tetap melakukan pengawasan. Dalam hal ini, mengawasi pemda dalam penyelenggaraan pendidikan.

Selain itu, memberikan sosialisasi pada dinas pendidikan mengenai ketentuan-ketentuan PPDB yang harus sesuai dengan peraturan yang ada. ”Jadi bukan langsung mengawasi sekolahnya,” tuturnya.

Karenanya, Chatarina mengungkapkan, penguatan pengawasan di daerah penting dilakukan. Agar, inspektorat daerah memahami betul semua peraturan pendidikan. Termasuk, soal PPDB.

Selain itu, dia juga berharap sekolah bisa turut bantu verifikasi KK. Dengan begitu, risiko kecurangan PPDB Jalur Zonasi berupa manipulasi KK bisa berkurang. ”Ada satu KK itu 10 anak, bahkan 20 anak. Seharusnya, dalam verifikasi itu dilihat oleh sekolah. Mereka memahami apa itu Kartu Keluarga,” ungkapnya.

Terkait tes, ia memilih untuk tidak mengadakan tes di PPDB, khususnya jalur prestasi. Lagi-lagi, hal ini untuk menghindari adanya manipulasi hasil tes. Menurutnya, sebagian daerah sudah melakukan tes dan banyak tidak transparan hasilnya.

”Kami prefer untuk jalur prestasi itu sertifikat yang perlombaannya itu setingkat kabupaten, kota, dari lembaga-lembaga yang dianggap kredibel mengeluarkan sertifikat prestasi tersebut,” jelasnya.

Sementara itu, Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal mengatakan persoalan dalam PPBD terus berulang setiap tahunnya. Persoalan itu menunjukkan belum meratanya kualitas sekolah negeri di Indonesia.

’’Sekolah favoritnya itu-itu saja,’’ katanya. Sehingga masyarakat berupaya keras supaya anaknya dapat masuk dalam zonasi sekolah favorit tersebut. Ada yang menitipkan di Kartu Keluarga (KK) warga setempat atau yang dekat dengan sekolah negeri favorit.

Kondisi itu di antaranya terjadi di Kota Bogor. Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto sempat mengecek sejumlah nama murid yang diterima di sejumlah sekolah negeri unggulan di pusat kota Bogor. Ternyata nama tersebut bukan warga setempat. Beberapa warga mengaku tidak mengenali nama-nama calon siswa yang disebutkan oleh Bima Arya.

Lebih lanjut Rizal mengatakan tantangan pemerintah saat ini adalah meningkatkan kualitas sekolah negeri. Harapannya sekolah negeri yang kualitasnya bagus, tidak itu-itu saja. Jika semakin banyak sekolah negeri yang meningkat kualitasnya, masyarakat tidak terfokus ke beberapa sekolah saja.

Rizal juga menyampaikan pemahaman publik harus diluruskan. Bahwa sekolah favorit itu bukan semata yang bisa memberikan nilai rapor setinggi-tingginya kepada siswa. Sehingga memperbesar peluang untuk diterima di sekolah negeri. Selebihnya sekolah berkualitas atau favorit adalah yang bisa menumbuhkan bakat dan minat siswa. ’’Sekolah yang bisa membuat anak-anak nyaman belajar di dalamnya. Sekolah yang menyenangkan,’’ katanya.

Rizal menjelaskan PPDB adalah sebuah rangkaian panjang. Tidak hanya pada proses seleksi siswa baru saja. Tetapi juga sampai dengan pelaksanaan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) bagi siswa baru. Rizal menekankan jangan sampai terjadi praktik kekerasan, bullying atau perundungan, dan sejenisnya dalam pelaksanaan MPLS yang umumnya dimulai, Senin (17/7) hari ini.

Perjuangan para wali murid siswa baru tak berhenti usai sang anak diterima di sekolah negeri. Pasalnya, mereka saat ini kembali dibikin pusing tujuh keliling dengan banyaknya biaya-biaya yang dikenakan oleh sekolah untuk siswa baru. Pungutan-pungutan ini ditarik dengan dalih sumbangan.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook