JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Ditjen Diktiristek Kemendikbudristek memang secara resmi tidak mengumumkan nama-nama perguruan tinggi swasta (PTS) yang dicabut izinnya. Tetapi di website Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), PTS nakal yang dicabut izinnya itu sudah disematkan keterangan tutup.
Saat dicek Ahad (11/6) malam, beberapa nama PTS yang dicabut izinnya sudah resmi tertera keterangan tutup. Di antaranya adalah STISIP Kartika Bangsa yang berada di Yogyakarta. Begitupun dengan STIE Islamiyah di Kota Tangerang Selatan dan STIE Tribuana di Kota Bekasi, juga sudah berstatus tutup.
Seperti diketahui secara keseluruhan ada 52 unit PTS bermasalah dan dijatuhi sanksi. Sanksi paling berat, yaitu pencabutan izin, dijatuhkan kepada 23 unit PTS. Jawa Pos (JPG) mendapatkan salinan nama-nama PTS tersebut.
Namun Kemendikbudristek menyatakan data itu bersifat internal. ’’Iya (data) itu harusnya tidak tersebar luas hanya kalangan terbatas dan jangan sampai dirilis ke publik,’’ kata Direktur Kelembagaan Ditjen Diktiristek Kemendikbudristek Lukman saat diklarifikasi.
Sementara itu perwakilan salah satu PTS yang dijatuhi sanksi pencabutan izin akhirnya bersuara. Dia adalah pemilik Yayasan STIE Tribuana Kota Bekas Suroyo masih belum terima bahwa kampusnya dinyatakan bersalah sampai dicabut izinnya. ’’Sebagian teman (media) beritakan hoaks dan tak seimbang. Kasihan medianya,’’ kata Suroyo saat diklarifikasi, Ahad (11/6).
Suroyo lantas membagikan rekaman videonya yang menjelaskan panjang lebar soal keberadaan STIE Tribuana. ’’Mohon bantu share, agar publik dicerdaskan secara utuh,’’ kata dia. Suroyo mengatakan sudah tiga kali menyampaikan klarifikasi atas kasus yang mendera kampusnya.
Ada beberapa poin klarifikasi yang dia sampaikan. Yaitu terkait tuduhan menyelewengkan beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, perkuliahan fiktif, dan praktik jual beli ijazah. Dia menjelaskan beberapa waktu lalu tim dari Itjen Kemendikbudristek datang untuk melakukan investasi di kampusnya.
Tim Itjen Kemendikbudristek turun melakukan investigasi karena ada temuan tiga orang mahasiswa memperoleh KIP dobel. Yaitu selain dari kampus STIE Tribuana, juga dapat KIP dari kampus lain. Dari hasil investigasi itu, Itjen Kemendikbudristek mengeluarkan rekomendasi. Diantaranya kampus harus mengembalikan kerugian negara. ’’ Sudah kami eksekusi beberapa bulan lalu. Sudah dibayarkan ke kas negara. Sudah selesai kasusnya,’’ katanya.
Kemudian soal tudingan STIE Tribuana menyelenggarakan kuliah fiktif, dia juga menampiknya. Menurut Suroyo, kampusnya sudah menyelenggarakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Sehingga mahasiswa hanya kuliah di kampus pada semester satu sampai empat.
Kemudian pada semester lima dan enam, mahasiswa melakukan magang dengan mitra kampus. Lalu semester tujuh mahasiswa melakukan perkuliahan lintas prodi di perguruan tinggi lain. Selanjutnya pada semester delapan mahasiswa menyelesaikan tugas akhir atau skripsi.
Sehingga jurnal absensi mahasiswa yang dipegang kampus hanya untuk semester satu sampai empat. Meskipun begitu kampus memegang laporan kegiatan magang mahasiswanya. Sementara untuk absensi mahasiswa lintas prodi, yang pegang adalah kampus lain yang dipilih mahasiswa.
’’Tim EKA (evaluasi kinerja akademik) seolah-olah mahasiswanya 500 kok yang terlihat 200 orang. Kami menerapkan MBKM, apanya yang salah. Mahasiswa belajar berkebun sendiri juga bisa dinilai,’’ katanya. Dia menegaskan skema MBKM yang dijalankan kampus sesuai dengan arahan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim.
Lalu soal dugaan jual beli ijazah, Suroyo menyayangkan pemerintah sampai saat ini tidak bisa membuktikannya. Dia mengatakan akan menindak tegas jika ada civitas di kampusnya yang terbukti terlibat praktik kotor tersebut. Bahkan sebagai pemilik yayasan, dia bersedia menutup yayasan jika terbukti ada oknum di tingkat yayasan yang terlibat praktik jual beli ijazah.
Sementara itu Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyayangkan masih ada kejadian kampus yang ditutup izinnya karena melakukan pelanggaran. Dia mengatakan kasus seperti itu terulang terus, dan masyarakat menjadi korbannya.
’’Kenapa (masih terjadi)? Pertama pemerintah tidak melakukan pengawasan secara komprehensif,’’ tuturnya. Pengawasan yang dilakukan Kemendikbudristek atau jajaran di bawahnya, hanya sebatas visitasi yang jadwalnya sudah ditentukan. Sehingga kampus bisa menunjukkan yang baik-baik saja, saat jadwalnya divisitasi.
Menurut dia pengawasan harus dilakukan secara menyeluruh dan terus menerus. Sehingga bisa dilakukan upaya pencegahan. Tidak sampai berujung pada pelanggaran berat, lalu izin dicabut, kemudian masyarakat jadi korban.(wan/jpg)
’’Yang kedua ada semacam simbiosis mutualisme,’’ katanya. Di satu sisi ada masyarakat berduit yang berharap mendapatkan ijazah dengan cara yang mudah. Dengan segala kesibukannya, mereka nekat membayar lebih mahal ke kampus yang penting ijazah bisa keluar.
Lalu di wilayah perkotaan seperti Jakarta, banyak pekerja yang ingin meningkatkan kualifikasi pendidikannya. ’’Mereka ini sudah bekerja. Tetapi mungkin waktu itu masih pakai ijazah SMA,’’ tuturnya. Di tengah jam kerja yang ketat, mereka tidak bisa melakukan kuliah dengan jam yang normal. Sebagai gantinya mereka mengambil kuliah akhir pekan saja, atau bahkan hari Ahad saja.
Menurut Ubaid, sejatinya negara sudah menyiapkan layanan kampus terbuka bagi masyarakat yang tidak memiliki waktu untuk kuliah konvensional. ’’Misalnya mengambil kuliah full online di Universitas Terbuka,’’ tuturnya. Tetapi mungkin karena masih terbatasnya informasi, masyarakat nekat mengambil kuliah akhir pekan saja di kampus swasta.
Untuk itu Ubaid menyarankan pemerintah mengubah regulasi layanan pendidikan tinggi. Sistem kuliah full di kampus apakah masih relevan dengan tuntutan perkembangan seperti sekarang ini. Jangan sampai masyarakat yang benar-benar ingin kuliah, tetapi memiliki waktu terbatas, dirugikan dengan praktik nakal kampus swasta.(wan/jpg)