JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan yang menggugurkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Putusan tersebut membatalkan nominal iuran baru yang diatur dalam Perpres 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan. Iuran pun kembali ke nominal lama.
Putusan tersebut mengabulkan gugatan yang sebelumnya diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Mereka keberatan dengan nominal iuran baru yang dianggap memberatkan masyarakat. Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menjelaskan bahwa pembatalan kenaikan iuran itu dilakukan karena Perpres di atas dinilai bertentangan dengan sejumlah aturan undang-undang yang lebih tinggi.
Aturan yang dimaksud antara lain dengan pasal 23A, pasal 28H junto pasal 34 UUD 1945. Kemudian bertentangan juga dengan beberapa pasal dalam UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan UU 36/2009 tentang Kesehatan. MA juga menilai Perpres 75/2019 khususnya pada pasal 34 ayat 1 dan 2 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sehingga MA mengabulkan sebagian permohonan KPCDI dan memerintahkan pihak termohon untuk menjalankan amar putusan tersebut.
Amar putusan itu sendiri sejatinya sudah dikeluarkan sejak akhir Februari lalu. "Putusan per tanggal 27 Februari 2020," terang Andi, Senin (9/3).
Sehingga otomatis ini menjadi hari kesembilan sejak digugurkannya aturan tersebut. Iuran BPJS Kesehatan sendiri sebelumnya sempat naik per tanggal 1 Januari 2020 dengan nominal untuk kelas tertinggi menembus angka Rp160 ribu. Putusan MA tersebut menjadi kabar baik bagi KPCDI selaku pihak yang melayangkan gugatan. Ketua Umum KPCDI Tony Samosir berharap pemerintah segera menjalankan amar putusan MA ini dan mengumumkan secara resmi pembatalan kenaikan iuran dari pihak penyelenggara jaminan kesehatan. Dalam hal ini BPJS Kesehatan.
"Kami berharap pemerintah segera menjalankan keputusan ini agar dapat meringankan beban biaya pengeluaran masyarakat kelas bawah setiap bulannya," jelas Tony kemarin.
Dia menegaskan bahwa putusan MA ini juga menjadi angin segar karena keluhan masyarakat ternyata masih didengar dan ditanggapi pihak berwenang. Lebih jauh, kuasa hukum KPCDI Rusdiyanto yang mengawal pengajuan gugatan ini menyimpulkan bahwa Perpres tersebut terbukti disusun dengan tergesa-gesa dan tanpa perhitungan yang matang. Sehingga ketika menyentuh masyarakat menengah ke bawah, aturan bisa mudah dipatahkan dengan kondisi riil masyarakat.
"Presiden jangan hanya berpikir untuk menutup rugi dengan menaikkan iuran," ujar Rusdiyanto kemarin.
Ketika iuran dinaikkan 50-100 persen, namun daya beli masyarakat tidak ikut meningkat, maka kenaikkan iuran BPJS Kesehatan sama saja hanya menambah beban masyarakat. Rusdiyanto melanjutkan, semangat menaikkan iuran BPJS Kesehatan juga tidak senapas dengan UUD 1945, di mana kesehatan warga negara menjadi tanggung jawab negara. Sementara dengan adanya kenaikan iuran, justru masyarakat yang dibebankan tanggung jawab tersebut. Karena itu dia mengapresiasi putusan MA yang masih mempertimbangkan banyak aspek yang pro terhadap masyarakat.
BPJS Kesehatan lebih bersikap pasrah terhadap putusan MA. Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf menuturkan sampai kemarin sore belum menerima salinan putusan tersebut. "Sampai saat ini BPJS Kesehatan belum menerima salinan hasil putusan Mahkamah Agung tersebut. Sehingga belum dapat memberikan komentar lebih lanjut, "kata Iqbal.
Iqbal menambahkan, saat ini BPJS Kesehatan belum bisa mengkonfirmasi kebenaran isi putusan MA tersebut. Jika sudah mendapat hasilnya maka pihaknya akan mempelajari terlebih dahulu. Jika benar, BPJS Kesehatan akan melakukan koordinasi dengan kementerian terkait sesuai dengan ketentuan yang berlaku "Pada prinsipnya BPJS Kesehatan akan mengikuti setiap keputusan resmi dari Pemerintah," tutur Iqbal.
Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak banyak berkomentar atas putusan MA terhadap BPJS. Menurut dia, harus dilihat terlebih dahulu apa implikasi putusan tersebut terhadap BPJS.
"Kalau dia secara keuangan kemudian akan terpengaruh, ya nanti kita lihat bagaimana BPJS Kesehatan akan bisa sustain,’’ terangnya di kompleks istana kepresidenan Jakarta kemarin.
Menurut Ani, sampai dengan akhir tahun lalu keuangan BPJS masih belum membaik. "Meskipun sudah saya tambahkan Rp15 triliun, dia masih negatif hampir sekitar Rp13 triliun," lanjutnya.
Dengan adanya putusan MA, maka harus dilihat kembali kondisinya ke depan akan seperti apa. Berkaitan dengan putusan yang sudah diketok oleh MA, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyatakan bahwa itu merupakan putusan final dan mengikat. Semua pihak harus menghormati dan mengikuti putusan tersebut. Termasuk di antaranya pemerintah.
"Oleh sebab itu, kita ikuti saja. Pemerintah kan tidak boleh melawan putusan pengadilan," ungkap Mahfud, kemarin.
Dikatakan Mahfud, lantaran itu putusan judicial review, tidak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan. Semua harus taat.(deb/lyn/byu/syn/jpg)