EVALUASI SATU TAHUN KEPEMIMPINAN JOKOWI-MA’RUF

Presiden Dinilai Semakin Berjarak dengan Rakyat

Nasional | Rabu, 21 Oktober 2020 - 10:00 WIB

Presiden Dinilai Semakin Berjarak dengan Rakyat
Aksi gabungan buruh, petani, mahasiswa, dan pelajar menyuarakan penolakan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja bertepatan setahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Jakarta, Selasa (20/10/2020). Demonstran mengikuti aksi dengan berjalan kaki menuju Istana Merdeka di Jalan Salemba.(HARITSAH ALMUDATSIR/JPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi)–Ma’ruf Amin genap setahun sejak dilantik pada 20 Oktober 2019 lalu. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu dinilai semakin berjarak dengan rakyat. Banyak kebijakan pemerintah yang kontroversi dan mendapat penolakan masyarakat. Jokowi pun didesak mengganti para menteri yang kinerjanya buruk.

Ahmad Khoirul Umam, dosen Ilmu Politik dan International Studies, Universitas Paramadina mengatakan, selama setahun kepemimpinannya pada periode kedua, dia menilai Jokowi semakin berjarak dengan rakyat. Ada proses komunikasi yang tersumbat antara lingkaran inti Presiden dengan dinamika sosial politik di tengah masyarakat.


"Tidak ada dialektika yang memadai antara pemerintah dan masyarakat," terangnya kepada Jawa Pos (JPG), Selasa (20/10).

Akibatnya, kata dia, sejumlah produk kebijakan publik seringkali diikuti dengan berbagai kontroversi, baik berskala sedang maupun besar. Hal itu terlihat jelas dari reaksi masyarakat terhadap sikap pemerintah terkait perubahan UU KPK, perumusan UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), ketidakpuasan publik terkait penanganan pandemi dan penyelamatan ekonomi, serta kontroversi UU Cipta Kerja belakangan ini.

Umam mengatakan, Presiden Jokowi seolah tak bergeming menghadapi berbagai tekanan politik publik. Hal itu bisa saja dilatarbelakangi oleh surplus kepercayaan diri Jokowi yang merasa bahwa gerakan sosial yang muncul belakangan ini hanya bersifat temporal, mudah terfragmentasi dan mudah dijinakkan.

Dalam konteks kontroversi UU KPK, UU HIP, dan UU Cipta Kerja, mungkin saja pemerintah merasa baik-baik saja. Namun, tersumbatnya komunikasi politik antara pemerintah dengan masyarakat, akan berimbas pada menumpuknya kekecewaan publik. "Pemerintah harus sadar bahwa investasi kekecewaan publik ini bisa berubah menjadi self-delegitimation yang berdampak pada menurunnya kredibilitas pemerintah itu sendiri," papar Direktur Eksekutif Romeo-Strategic Research & Consulting (RSRC).  

Menurut dia, Presiden harus membuka ruang komunikasi politik publik. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan publik benar-benar sesuai dengan aspirasi dan ekspektasi masyarakat. Sehingga potensi kontroversial bisa ditekan. Jika Presiden tidak melakukan koreksi, sama halnya pemerintah sedang melakukan bunuh diri secara politik. Salah satu langkah koreksi yang bisa ditempuh Presiden Jokowi pada momentum satu tahun pemerintahannya adalah merombak kabinet.

Sementara Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Hinca Pandjaitan mengatakan, komunikasi Jokowi kurang memuaskan.

"Saya lihat bahwa pemerintahan Jokowi masih belum maksimal dalam membangun komunikasi dengan pemda. Terutama pada awal masa pandemi," terang Hinca dalam pernyataan tertulis, Selasa (20/10).

Hinca mempertegas bahwa terdapat perbedaan pendapat serta kebijakan dalam menangani pandemi antara pusat dan daerah. Hinca menyinggung soal pembahasan UU Cipta Kerja yang menuai polemik sejak dibawa ke pembahasan April lalu. Hingga puncaknya terjadi gelombang protes besar-besaran pada bulan ini. "Komunikasi yang kurang pas juga terjadi tatkala UU Cipta Kerja disahkan bahkan sejak masa pembahasan,” lanjutnya.

Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menyatakan bahwa sepanjang satu tahun masa kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf masih banyak persoalan yang harus dituntaskan. Utamanya di bidang hukum dan hak asasi manusia (HAM)."Realisasi misi Jokowi-Ma’ruf jauh panggang dari api," ungkap dia kemarin.

Menurut YLBHI, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah setahun belakangan tidak memperkuat penegakan hukum dan HAM. Malahan menunjukan adanya upaya pelemahan penegakan hukum dan HAM. Hal itu ditunjukkan lewat beberapa revisi UU. Salah satunya persetujuan revisi UU KPK yang saat ini tidak menunjukkan adanya peningkatan kinerja KPK.

Selain itu, pemerintah setuju dan menandatangani revisi UU Minerba, menyetujui dan menandatangani revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK), dan yang terbaru mengusulkan pembuatan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Isnur pun menyebutkan, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu juga tidak kunjung tuntas.

Karena itu, YLBHI meminta supaya pemerintah mencabut kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan hukum dan HAM.

"Mendesak pemerintah  menghormati hukum dan hak asasi manusia dan melindungi warga negaranya. Itu bisa dilakukan dengan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih adil. Khususnya di bidang hukum dan HAM," ungkap Isnur.

Di bidang ekonomi juga banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan. Ekonom Indef Bhima Yudhistira menjelaskan, beberapa poin yang disoroti yakni Indonesia tercatat menempati urutan ke-7 tertinggi di antara negara berpendapatan menengah dan rendah dalam utang luar negeri (ULN) yakni 402 miliar dolar AS mengacu pada International Debt Statistics 2021-Bank Dunia. Beban ULN Indonesia jauh lebih besar dari Argentina, Afrika Selatan dan Thailand.

"Di tengah situasi pandemi, pemerintah terus menambah utang dalam bentuk penerbitan utang valas yang rentan membengkak jika ada guncangan dari kurs rupiah," ujarnya kepada JPG.

Bhima melanjutkan, pemerintah di tahun 2020 menerbitkan Global Bond sebesar 4,3 miliar dolar AS dan jatuh tempo pada 2050 atau tenor 30,5 tahun.
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook