RIAUPOS.CO - Sebanyak 5,33 juta atau 24,4 persen anak Indonesia mengalami stunting pada 2022. Kendati pemerintah melakukan upaya masif untuk menekan prevalensi stunting, keterlibatan masyarakat masih minim. Salah satu penyebabnya adalah masih kurangnya pemahaman terhadap stunting.
Penelitian Health Collaborative Center (HCC) pada September–November lalu di 31 provinsi menunjukkan bahwa hanya 61 persen dari total 1.676 responden yang paham tentang stunting. Mereka tahu pasti penyebab stunting adalah kekurangan nutrisi. ’’Harus terus sosialisasi,’’ kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo.
Stunting sangat erat kaitannya dengan perempuan. Pasalnya, stunting bisa dideteksi sejak sebelum terjadi kelahiran bayi. Bahkan sejak seorang gadis masih remaja. Dua faktor penting yang harus diperhatikan adalah asupan gizi dan anemia.
Pada data calon pengantin perempuan BKKBN hingga 2 Januari lalu, ada 52.948 orang yang usianya kurang dari 20 tahun. ’’Usia terlalu muda,’’ ucap Hasto. Sementara itu, yang di atas 35 tahun hingga 49 tahun tercatat sebanyak 95.933 perempuan. Mereka butuh pendampingan karena masuk kategori berisiko melahirkan bayi stunting. Hamil terlalu muda atau terlalu tua sama-sama berisiko tinggi.
BKKBN juga mencatat bahwa 22.431 calon pengantin perempuan terlalu kurus. Yang mengalami anemia berat mencapai 4.190 orang. ’’Kalau hamil, anaknya bisa stunting,’’ ujar mantan bupati Kulon Progo tersebut.
Berdasar data yang ada, pemerintah kini bisa mengintervensi stunting. Wamenkes Dante Saksono Harbuwono menilai intervensi spesifik diperlukan sebelum dan setelah kelahiran. Saat ini, sebanyak 23 persen anak yang baru lahir, kondisinya sudah stunting. Itu karena si ibu kurang gizi dan anemia.
Pada usia 6 tahun, jumlah anak yang masuk kategori stunting meningkat. Angkanya menjadi 37 persen. Pada fase itu, penyebabnya adalah kekurangan asupan protein dan pola pengasuhan yang tidak tepat. ’’Jadi, masalah ibu menjadi masalah yang juga penting untuk menurunkan angka stunting,’’ tutur Dante.
Kementerian Kesehatan punya 11 program intervensi spesifik kasus stunting. Di antaranya, pemberian tablet tambah darah untuk remaja putri, skrining anemia pada siswa kelas 7 dan 10, serta kehamilan yang harus diperiksakan ke dokter minimal enam kali. Program lain adalah pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil, penggalakan ASI eksklusif selama 6 bulan, dan pemantauan tumbuh kembang balita oleh Posyandu.
Untuk memberikan kekebalan kepada anak, vaksinasi dasar pun ditingkatkan menjadi 14 jenis. ’’Melalui kegiatan penimbangan, pengukuran panjang badan, dan pemantauan perkembangan balita di Posyandu setiap bulan, kami bisa mendeteksi weight faltering atau masalah gizi,’’ imbuh Dante.
Dengan demikian, intervensi bisa dilakukan lebih awal.(lyn/hep/jpg
Laporan JPG, Jakarta