WABAH CORONA

Terapkan PSBB, Pemda Harus Siapkan Rencana Aksi

Nasional | Selasa, 07 April 2020 - 09:37 WIB

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Peraturan Menteri Kesehatan tentang pembatasan sosial berskala besar (PSBB) memang sudah terbit. Namun, bukan berarti langsung ada penerapan Permenkes tersebut di daerah. pemda harus memastikan betul kesiapannya sebelum pengajuan PSBB disetujui. Agar saat diterapkan, bisa benar-benar berjalan dengan efektif.

Hal itu disampaikan Ketua Gugus Tugas Percepatan penanganan Covid-19 Doni Monardo usai rapat kabinet terbatas virtual bersama Presiden Joko Widodo, Senin (6/4). Dia membenarkan bahwa ada sejumlah daerah yang mulai mengajukan status PSBB kepada Kemenkes. Salah satunya adalah DKI Jakarta.


Namun, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi sebelum bisa ditetapkan PSBB. Selain data peningkatan jumlah dan penyebaran kasus beserta transimisi lokal, ada pula syarat utama lain yang harus dipenuhi. Yakni, informasi kesiapan daerah dalam melaksanakan PSBB. Mulai ketersediaan keperluan hidup dasar, sarana kesehatan, hingga jaring pengaman sosial maupun sektor keamanan.

Doni menuturkan, pihaknya sudah bersurat kepada Kemenkes terkait pengajuan-pengajuan tersebut.

"Agar daerah yang telah mengajukan usulan untuk mendapatkan izin PSBB ini melengkapi dengan rencana aksinya," terangnya.

Faktor kesiapan itu menjadi penting. Agar ketika daerah sudah memulai program PSBB, semuanya bisa berjalan dengan baik. Karena akan banyak pembatasan yang dilakukan ketika kebijakan tersebut berlaku. Pembatasan-pembatasan yang saat ini masih berupa imbauan atau seruan akan menjadi larangan resmi.

Seperti berkumpul untuk beribadah di rumah ibadah, bekerja di kantor, sekolah, berkumpul di tempat atau transportasi umum, dan pembatasan lainnya. Meskipun, masih ada sejumlah aktivitas yang diizinkan. Seperti berbelanja keperluan pokok, berolahraga di luar rumah, bertransaksi di ATM, hingga menghadiri pemakaman. Tentu dengan protokol jaga jarak yang ketat.

"Dalam beberapa hal kemungkinan ada penegakan hukum dari aparat yang berwenang," lanjut Doni.

Hanya saja, pihaknya tetap berharap bahwa pendekatan yang dilakukan aparat tetap pada koridor kedisiplinan. Tentang PSBB, Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Argo Yuwono menuturkan bahwa sesuai dengan PSBB itu Kapolri Jenderal Idham Aziz telah mengeluarkan maklumat. Ada berbagai metode yang digunakan agar mencegah penyebaran.

"Kami sudah sosialisasikan apa yang boleh dan tidak boleh selama PSBB," terangnya.

Yang perlu ditekankan masih soal kerumunan. Dimana Polri akan memberikan peringatan tiga kali. "Kalau ngeyel ya dibawa ke Polda, sudah ada 18 orang dibawa ke Polda Metro," terangnya.

Namun, tidak dilakukan penahanan terhadap 18 orang tersebut. Hal tersebut sesuai dengan upaya mencegah penyebaran virus corona. "Ada juga telegram Kapolri yang ditandatangani Kabareskrim," terangnya.

Semua itu, baik maklumat dan telegram merupakan hasil breakdown dari aturan PSBB. Semua petugas telah dilakukan pelatihan. "Ada juga video conference Kabareskrim untuk memberikan petunjuk bagaimana menjalankannya di lapangan," paparnya.

Lalu, untuk upaya pembubaran kerumunan, Polri telah melakukan pembubaran sebanyak 10.873 kali. Pembubaran itu di seluruh wilayah Indonesia.

"Bahkan di Jatim juga diminta membuat surat pernyataan tidak mengulangi kerumunan. Ada 3 ribu orang di Jatim yang membuat surat pernyataan tidak mengulangi," terangnya kemarin.

Tak hanya itu, Polda dan Polres melakukan persiapan tactical for game atau semacam simulasi. Yang tujuannya untuk mengantisipasi situasi terburuk dalam pandemik virus corona ini.

"Yang pasti, masyarakat harus mengikuti aturan pemerintah dalam mencegah penyebaran virus corona," terangnya.

Sementara itu, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mendorong para gubernur, bupati dan wali kota untuk menggunakan wewenang mengajukan permohonan PSBB dengan bijaksana. Jika akhirnya PSBB harus diterapkan, langkah itu hendaknya tidak menimbulkan ekses atau menambah persoalan baru di daerah bersangkutan. Menurut Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo, selain mengacu pada syarat-syarat penerapan PSBB sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Permenkes No.9 Tahun 2020, para kepala daerah hendaknya juga memastikan terlebih dahulu bahwa penerapan PSBB tidak menimbulkan panik masyarakat setempat. "Maka, sosialisasi sebelum PSBB diterapkan menjadi sangat penting," terang dia.

Kepala Badan Bela Negara FKPPI itu menyatakan, pada tahap sosialisasi, narasi atau penjelasan pemda tentang perkembangan data pasien Covid-19 hendaknya dikemukakan dengan cara yang wajar dan terukur, tanpa dramatisasi. Terutama data perkembangan harian tentang bertambahnya jumlah pasien dan jumlah pasien Covid-19 yang meninggal. Dengan penjelasan apa adanya, respons masyarakat pun diyakini terukur alias tidak panik.

Sebelum PSBB diberlakukan, kata mantan Ketua DPR RI itu, pemda harus memastikan stok keperluan pokok masyarakat setempat tersedia dalam volume atau jumlah yang aman. Serta memastikan tidak terganggunya rantai pasok kebutuhan pokok dan energi.

"Setiap pemda perlu berupaya agar tidak terjadi panic buying," ujarnya.

Mantan Ketua Komisi III itu menambahkan, tak kalah penting adalah memastikan kesiagaan fasilitas layanan publik untuk permintaan atau kebutuhan bersifat darurat. Misalnya, layanan medis bagi pasien penyakit lain, lansia, anak-anak serta ibu hamil. Untuk memastikan semua itu, persiapan sebelum penerapan PSBB oleh setiap pemda haruslah komprehensif dan mencakup semua aspek.

Menurut Waketum Partai Golkar itu, pelaksanaan dan pengawasan PSBB di sejumlah daerah dipastikan makin rumit, karena bertepatan dengan periode mudik. Untuk menghindari ketegangan dengan para pemudik, para petugas di setiap daerah harus persuasif. "Dengan mengedepankan dialog untuk membangun saling pengertian," jelas Bamsoet.

Terpisah, peraturan yang diterbitkan Menteri Kesehatan terkait PSBB dianggap kurang tepat menurut pengamat kebijakan. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) justru menilai bahwa peraturan tersebut bakal memperpanjang proses birokrasi dan memperlambat penanganan Covid-19 di berbagai daerah. PSHK mencatat bahwa dalam Permenkes 9/2020 mengatur pemerintah daerah untuk mengajukan permohonan untuk penetapan status PSBB. Permohonan harus disertai data peningkatan kasus dan penyebaran. Padahal, data itu seharusnya sudah dimiliki Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas yang setiap hari dilaporkan ke masyarakat melalui juru bicara.

Setelah diajukan pun, usulan pemda itu bakal dikaji lebih dulu oleh tim penetapan PSBB. Tim tersebut dibentuk oleh Kemenkes dan beranggotakan 48 orang lintas instansi, yang berarti perlu memakan waktu lagi untuk melakukan kajian dan menyesuaikan dengan prosedur instansi masing-masing. "Jalur birokrasi pun menjadi semakin panjang," ungkap Direktur Jaringan dan Advokasi PSHK Fajri Nursyamsi.  

PSHK pun mendesak agar Menkes merevisi peraturan tersebut demi memangkas birokrasi dalam penetapan PSBB. Usulan pemda harus dibuat lebih sederhana dan memanfaatkan data persebaran kasus yang sudah dipegang oleh pemerintah pusat tanpa harus menunggu laporan ulang dari daerah. Mereka juga menyarankan agar Gugus Tugas dijadikan forum koordinasi dan pengambilan keputusan wilayah yang layak dijalankan PSBB atau karantina wilayah, tidak harus melalui tim tambahan lagi.

Untuk menjalankan fungsi itu, Fajri menilali perlu ada restrukturisasi yang dilakukan Presiden terhadap Gugus Tugas. Bukan lagi menempatkan Kepala BNPB di kursi komando, melainkan Menkes karena sesuai dengan situasi kedaruratan kesehatan. Bukan kedaruratan bencana.

"Sebaiknya Gugus Tugas dijadikan sebagai forum pengambilan keputusan, karena pihak-pihak strategis sudah berkumpul di sana," lanjutnya.

Isolasi Mandiri Harus Lapor Puskesmas
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto mengatakan masyarakat yang melakukan isolasi mandiri harus melapor ke pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) terdekat.

"Setiap melaksanakan isolasi mandiri harus melaporkan ke puskesmas terdekat yang nantinya mengawasi kondisi kesehatan masyarakat yang melakukan isolasi mandiri. Petugas puskesmas sudah tahu apa yang harus dilakukan," ujar Yuri, kemarin (6/4).

Yuri menjelaskan, isolasi diri dilakukan oleh orang dalam pemantauan (ODP) yang memiliki ciri-ciri demam atau riwayat demam, batuk atau pilek, memiliki riwayat perjalanan ke negara yang memiliki transmisi lokal Covid-19, maupun memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di daerah dengan transmisi lokal di Indonesia dalam 14 hari terakhir sebelum timbul gejala.

ODP tersebut wajib mengisolasi diri secara sukarela dan tidak meninggalkan rumah selama 14 hari, kecuali ke klinik atau rumah sakit untuk memeriksakan diri.

"Petugas Puskesmas memiliki peran serta dalam pemantauan dan juga melakukan edukasi yang benar secara terus-menerus mengenai COVID-19 ini," terang Yuri.

Diharapkan setelah isolasi selesai dilakukan, maka yang bersangkutan mempunyai pengetahuan yang bagus tentang penularan virus tersebut. Isolasi mandiri, kata Yuri, dapat dilakukan di rumah, asalkan individu yang melakukan isolasi mandiri itu mengenakan masker, kamar tidur yang terpisah jika memungkinkan, menjaga jarak fisik dengan anggota keluarga yang lain, dan menggunakan alat makan tersendiri.

"Keluarga yang memiliki daya tahan tubuh yang rendah seperti manula, sedang dalam masa pengobatan penyakit kronis (penyakit diabetes/gula, riwayat tumor/kanker), memiliki penyakit autoimun atau kondisi pernapasan yang tidak prima, maka perlu diungsikan sementara," katanya.

Yuri menjelaskan keberhasilan isolasi mandiri tersebut ditentukan beberapa hal yakni, tidak ada keluhan dari awal isolasi sampai hari terakhir, dan ada keluhan sedikit seperti panas pada awal isolasi namun sembuh setelah isolasi mandiri.  Kemudian jika ada keluhan seperti sesak, demam hingga hari terakhir maka isolasi tetap harus dilakukan namun harus diawasi petugas kesehatan. "Pelaksanaan isolasi mandiri itu tentunya tetap diawasi oleh petugas kesehatan dari awal hingga hari terakhir," jelas Yuri.(byu/idm/lum/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook