Kesebelas, proses perekrutan saksi-saksi harus benar-benar selektif. Yang memang harus dimulai dari sekarang, karena waktu sudah mepet. Khususnya untuk mencari coordinator atau korlap baik tingkat kecamatan dan kelurahan, yang memiliki militansi, idealis, memiliki kompetensi dan kredibilitas, responsif, bernyali besar, organizer, dan memiliki kemampuan teknis kepemiluan yang memadai.
Sulit untuk mencari orang atau saksi yang memiliki kaliber seperti itu, terkecuali dilakukan pelatihan dengan dikarantina dan melakukan perjanjian seperti perjanjian sacral atau suci.
Keduabelas, mendirikan posko-posko untuk para saksi. Untuk koordinasi di setiap kecamatan atau kelurahan, untuk klinik kesehatan, persediaan logistik, karena pengawalan suara membutuhkan kondisi fisik dan mental yang prima. Oleh karena itu wajar bila saksi seharusnya lebih dari satu.
Ketigabelas, Tim sukses inti yang mengelola IT atau tabulasi suara yang masuk harus menguji coba sistem teknologi tersebut. Uji publik, seperti dibiarkan dulu di hacker atau dijaili, agar jika terjadi seperti itu kelak, dapat segera ditangani dengan cepat. Hal ini juga dapat berlaku pada sistem IT KPU.
“Sebetulnya masih banyak lagi yang harus dilakukan, namun paparan di atas cukup untuk menggambarkan bagaimana saksi-saksi harus bekerja dengan jeli, professional, cermat, dan bertanggung jawab, sehingga tidak hanya sekedar piknik di TPS-TPS,” kata Girindra.(fri/jpnnjpg)