JAKARTA (RIUAPOS.CO) - Penggunaan sarana video call oleh KPU dalam tahap verifikasi administrasi dinyatakan melanggar. Sanksi administrasi itu dijatuhkan oleh Bawaslu tingkat provinsi di 10 wilayah berbeda. Antara lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Lampung.
Sebelumnya, KPU mengambil kebijakan memperbolehkan penggunaan video call dalam mengklarifikasi keanggotaan partai selama verifikasi administrasi. Baik itu klarifikasi atas pencatutan, kegandaan dan sebagainya. Kebijakan yang muncul di tengah berjalannya tahapan itu lantas dilaporkan oleh Bawaslu kabupaten/kota di 10 provinsi. Sebagaimana ketentuan, kasus itu lantas disidangkan oleh Bawaslu tingkat provinsi.
Anggota Bawaslu RI Puadi mengatakan, keputusan 10 Bawaslu provinsi bulat. KPU dianggap melanggar administrasi. "(Klarifikasi via video call) tindakan yang tidak memiliki dasar hukum/kewenangan," ujarnya, kemarin (5/10).
Dalam PKPU 4/2022 yang menjadi pedoman teknis, lanjut dia, metode video call tidak diatur. Sehingga kebijakan KPU tidak dibenarkan. Atas dasar itu, Bawaslu di 10 provinsi menjatuhkan sanksi teguran tertulis. Yakni kepada KPU kabupaten/kota di wilayahnya yang menggunakan metode itu.
Sanksi ringan diambil karena dampak kebijakan itu dinilai tidak terlalu fatal. "Kesalahan administrasi dari KPU memang ada, tetapi tidak sampai menimbulkan kerugian kepada pemenuhan hak konstitusional warga," jelasnya.
Puadi menyebut, sanksi tersebut diharapkan menjadi peringatan agar ke depan tidak ada tindakan atau kebijakan yang tidak sesuai prosedur. "Bertindak lebih hati-hati sangat urgen dikarenakan eksistensi jabatan yang ada di KPU merupakan jabatan yang rentan akan penyalahgunaan," imbuhnya.
Sementara itu, Komisioner KPU RI Idham Holik mengatakan pihaknya menghormati keputusan Bawaslu. Sikap itu bagian dari cara pandang Bawaslu dalam menilai persoalan. "Kami harus menghormati apa yang menjadi putusan Bawaslu," ujarnya.
Meski demikian, Idham menegaskan KPU punya alasan yang kuat dibalik kebijakan tersebut. Dia menceritakan, dalam praktiknya proses verifikasi berhadapan pada situasi force majeur yang memaksa untuk dilakukan kebijakan progresif.
Idham mencontohkan, saat klarifikasi dilakukan, di sejumlah daerah terdapat kendala alam yang mengakibatkan sulit untuk bertemu secara tatap mata. "Misalnya kondisi alam yang tidak memungkinkan yang bersangkutan berlayar. Kan di Indonesia banyak kepulauan," tuturnya.
Terkait tidak diatur dalam PKPU, Idham menyebut dalam situasi yang dinamis, KPU punya kewenangan untuk mengambil kebijakan. Sehingga berbagai kendala bisa dicari jalan keluarnya. Termasuk melalui surat keputusan, surat edaran dan sejenisnya.
Lagi pula, lanjut dia, penggunaan teknologi hari ini merupakan praktik yang lazim. "Jadi ada perbedaan pandangan. Di situasi yang demikian kami memandang pendekatan hukum progresif," ungkapnya.
Meski tidak sepenuhnya sepakat, Idham menyebut putusan Bawaslu akan dijadikan pelajaran. Kedepan, dia menilai antara KPU dan Bawaslu harus lebih mengintensifkan koordinasi. Sehingga terbentuk pemahaman hukum bersama.(far/bay/jpg)