(RIAUPOS.CO) - Penyelenggaraan haji tahun ini dibayangi penerapan perekaman biometrik sebagai syarat pengurusan visa. Menilik pengurusan visa umrah, perekaman biometrik dikeluhkan merepotkan. Karena lokasi pengambilannya belum menyebar di seluruh Indonesia. Pemerintah dituntut tegas menyampaikan penolakan.
Hingga kini belum ada kepastian apakah pemerintah Arab Saudi benar-benar menerapkan perekaman biometrik sebagai syarat pembuatan visa haji. Namun dalam sejumlah kesempatan, Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan bahwa Arab Saudi memiliki keinginan besar untuk menjadikan perekaman biometrik sebagai syarat pembuatan visa.
Jika skenario itu diberlakukan, maka penerbitan visa haji tidak lagi berjalan seperti biasanya. Selama ini prosesnya jamaah calon haji (JCH) cukup menyerahkan paspor dilengkapi foto dan dokumen lain ke kantor Kemenag pusat. Kemudian tim di Kemenag yang mengajukan proses visa ke Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta.
Setelah selesai, paspor yang sudah ditempeli visa tersebut dikembalikan lagi ke JCH. Namun seandainya proses biometrik dijalankan, maka sebelum mengajukan visa, JCH tersebut harus melakukan perekaman biometrik di titik terdekat. Misalnya di Jawa Timur, lokasi perekaman biometrik ada di Surabaya, Malang, dan Banyuwangi.
Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kemenag Mastuki menjelaskan, belum ada kepastian apakah perekaman biometrik sebagai syarat pengurusan visa diterapkan tahun ini. ’’Kemenag masih keberatan jika biometrik dijadikan salah satu syarat pengurus visa haji,’’ jelasnya, Selasa (5/2).
Mastuki menuturkan, pada prinsipnya Kemenag menghargai ketentuan pengurusan visa oleh Arab Saudi. Sebab ketentuan tersebut merupakan kewenangan dari Arab Saudi. Tetapi jangan sampai ketentuan tersebut, malah menimbulkan persoalan atau merepotkan JCH di tanah air.
Menurut dia, tahun lalu perekaman biometrik kepada JCH mulai dijalankan di tanah air. Yakni ketika JCH sudah berada di asrama haji. Beberapa saat sebelum keberangkatan, JCH diambil sidik jadi dan foto retinanya. ’’Meski baru terbatas di embarkasi Jakarta,’’ tuturnya.
Proses tersebut dilakukan dengan tujuan mempercepat proses keluarnya JCH di Bandara Jeddah maupun Madinah. Sebab mereka tidak perlu lagi antre untuk perekaman biometrik di loket imigrasi bandara Arab Saudi.
Pengamat haji dari UIN Syarif Hidayatullah Dadi Darmadi menuturkan, keinginan Arab Saudi mengambil data biometrik JCH tentu dengan beragam alasan. Ketentuan ini juga diterapkan di negara-negara lain. Hanya saja negara lain yang sudah lebih dahulu dilakukan perekaman biometrik, tidak seluas Indonesia penyebaran jamaah hajinya.
’’Alasan pemerintah Arab Saudi mungkin ingin terbebas dari potensi perdagangan manusia, terorisme, dan macam-macam,’’ katanya.
Sehingga mereka menerapkan syarat perekaman biometrik dalam pengurusan visa. Termasuk untuk visa haji.
Meskipun urusan biometrik itu domain Arab Saudi, sebaiknya jangan sampai menimbulkan kesan membuat repot umat Islam untuk menunaikan haji. Dia berharap jika pemerintah Indonesia berkeberatan dengan rencana tersebut, harus menyampaikan sikap penolakan yang tegas.
Dadi menjelaskan, melihat implementasi perekaman biometrik untuk visa umrah, memang banyak keluhan. Di antaranya adalah jamaah yang harus keluar ongkos lagi untuk perekaman biometrik.
Dia mengatakan di wilayah tertentu, jangankan ke pusat ibukota provinsi, ke pusat ibukota kabupaten/kota saja harus naik pesawat atau menyeberang lautan serta sungai.
Dia berharap sebelum benar-benar diterapkan, infrastruktur perekaman biometrik harus dibenahi terlebih dahulu. Dadi mengusulkan, sebaiknya perekaman biometrik tidak dikaitkan dengan pengajuan visa haji. Kemudian pengambilannya dilakukan di tiap-tiap asrama haji atau embarkasi.(wan/ted)