Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD termasuk salah seorang pejabat yang mengawal upaya pengejaran Djoko Tjandra. Menurut Mahfud, dirinya sudah mendapat informasi operasi penangkapan Djoko Tjandra sejak 20 Juli lalu. Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Purnomo yang memberi tahu rencana tersebut kepada Mahfud. ”Dia nyatakan polisi siapkan operasi penangkapan,” terang Mahfud kemarin.
Informasi tersebut disampaikan oleh Listyo beberapa jam sebelum Mahfud memimpin rapat yang membahas masalah Djoko Tjandra bersama menteri dan pimpinan lembaga lainnya. Operasi penangkapan itu pun pun langsung berjalan. Sampai akhirnya Kamis malam (30/7), Polri bersama otoritas di Malaysia berhasil menangkap buronan kakap tersebut. Karena itu, sejak operasi berlangsung, Mahfud enggan buka suara terkait perkembangan kasus Djoko Tjandra.
Tentu penangkapan Djoko Tjandra oleh Polri tidak lantas menuntaskan persoalan. Masih ada pekerjaan yang harus dilakukan oleh aparat keamanan dan lembaga peradilan. Peninjauan kembali (PK) yang sudah diajukan oleh Djoko Tjandra memang sudah diputus tidak dapat diterima.
"Itu artinya tidak memenuhi syarat administratif," tutur pria yang pernah bertugas sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu. Namun, tidak menutup kemungkinan upaya hukum serupa akan ditempuh oleh Djoko Tjandra.
Karena itu, Mahfud berharap Mahkamah Agung (MA) dan seluruh lembaga peradilan di bawahnya memproses permohonan tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Dia mengerti, MA merupakan lembaga independen. Tidak ada satupun yang bisa mencampuri proses hukum di MA. Menurut dia, yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah ikut mengawal proses hukum tersebut. "Harus dipelototi," tegasnya.
"Sehingga kami harap pimpinan MA juga perhatikan secara sungguh-sungguh," tambah dia.
Lebih lanjut, Mahfud menyatakan bahwa penindakan ke dalam harus dilakukan. Baik yang tengah diproses oleh Polri dan Kejaksaan Agung maupun tindakan yang perlu dilakukan oleh instansi lainnya.
"Dan itu pasti bisa. Saya akan mendorong ke arah sana sekuat-kuatnya sebagai Menko Polhukam," tegas Mahfud. "Kemenkum HAM kalau ada di Imigrasi yang terlibat supaya ditindak," ujarnya. Semua pihak yang terlibat membantu buronan keluar masuk Indonesia harus ditindak.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman sebagai pelapor yang menggelindingkan pertama kali lenggang kangkungnya Djoko Tjandra memberikan apresiasi terhadap kinerja Kapolri dan Kabareskrim. "Kerja keras Polri menangkap Djoko Tjandra memang harus diapresiasi," ujarnya yang menyebut dirinya sebagai peniup peluit kasus tersebut.
Dia menuturkan, dengan tuntasnya kasus ini tentunya tidak perlu panjang lebar lagi. Ini adalah panggung dari Kapolri dan Kabareskrim. ”Saya tak perlu banyak bicara agar memberikan keleluasaan atas prestasi Kapolri dan Kabareskrim. Ini panggung keduanya,” jelasnya.
Tantang Polri Ringkus Buron Lain
DPR mengapresiasi Bareskrim Polri yang berhasil menangkap Djoko Tjandra. Ketua Komisi III Herman Hery menilai penangkapan tersebut berhasil menjawab keraguan publik yang selama ini skeptis terhadap polri. Itu juga menjadi bukti bahwa negara tidak kalah oleh penjahat kerah putih. "Angkat topi buat Bareskrim yang membuktikan negara tidak kalah oleh seorang Djoko Tjandra," kata Herman Hery.
Namun pihaknya meminta aparat tidak cepat berpuas diri. Sebab masih banyak yang harus dituntaskan terkait banyak kejanggalan yang mengiringi kasus itu. Termasuk dugaan keterlibatan pihak imigrasi dalam mengeluarkan paspor. "Polisi harus bongkar skandal ini. Kami siap mengawal sampai tuntas," ujarnya.
Anggota Komisi III Sarifuddin Sudding menyampaikan, setelah penangkapan Djoko Tjandra, kepolisian juga harus memberi perhatian serius atas sederet buron kakap korupsi lainnya. Hingga kini mereka masih bebas di luar negeri. Jumlahnya diperkirakan lebih dari 50 orang. Termasuk pihak yang terjerat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Jumlahnya puluhan. Polri harus buktikan menangkap buron lainnya," imbuh Sudding.
Di antara buron kakap yang sering terdengar adalah Eddy Tansil. Dia adalah buronan kasus penggelapan uang sebesar Rp1,3 triliun. Eddy kabur pada 4 Mei 1996 ketika sedang menjalani masa hukuman 20 tahun penjara di Lapas Cipinang, Jakarta Timur. Buron lainnya Honggo Wendratno dalam kasus dugaan korupsi penjualan kondensat oleh PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Dia diuga merugikan keuangan negara Rp35 triliun. Ada juga nama Anton Tantular dan Hendro Wiyanto sebagai buronan kasus korupsi pada Bank Century.
"Kalau komiten, saya kira bisa (ditangkap, red). Seperti kasus Djoko Tjandra atau Maria Pauline Lumowa," papar politikus PAN itu.
Ketua MPR Bambang Soesatyo juga memuji keberhasilan Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo dan jajarannya. Tapi keberhasilan menangkap Djoko Tjandra, kata dia, belum cukup untuk memuaskan rasa keadilan bersama. Sebab masih ada puluhan buronan koruptor yang belum ditangkap aparat penegak hukum.
Nah, setelah ini, Bamsoet mengimbau Polri dan penegak hukum seperti Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bersinergi lebih kuat. Menurutnya, Indonesia harus memperluas perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara. Khususnya Singapura yang terkenal menjadi surga persembunyian bagi buronan asal Indonesia. "Ini bisa semakin mempersempit celah para buron yang melarikan diri ke luar negeri," tegas Bamsoet.(idr/syn/mar/jpg)