BATAM (RIAUPOS.CO) - Kisruh yang terjadi dalam upaya pengembangan Rempang Eco-City yang eskalasinya meningkat beberapa pekan terakhir, membuat pendiri Grup Artha Graha, Tomy Winata angkat bicara. Ia menegaskan, terkait investasi senilai Rp381 triliun lewat anak usahanya PT Makmur Elok Graha di Rempang, pihaknya hanya menerima hasil sidang antara BP Batam dengan DPR.
“Kami mendapat satu konsep. Kami diajak ngomong. ‘Keberatan tidak?’ Saya jawab tidak keberatan,” ungkap Tommy Winata seperti dilansir Majalah Mingguan Tempo edisi 18 September 2023 lalu.
Kepada Tempo, Tommy Winata juga menegaskan bahwa pihaknya tidak menggunakan seluruh wilayah Rempang yang luasnya mencapai 17 ribu hektare. Pihaknya hanya memerlukan lahan seluas 7.500 hektare. “Iya, dari wilayah itu kami tidak menggunakan seluruhnya 17 ribu hektare, hanya 7.500 hektare,” tegas Tommy Winata.
Tommy bahkan bingung dengan munculnya kericuhan terkait rencana investasinya itu di Rempang. Padahal, investasinya ini memberi manfaat besar dan akan mengubah bahan baku menjadi bahan jadi, sehingga bahan baku tidak dijual murah.
Bahkan, rencananya Xinyi Glass Holdings Limited (Xinyi Group) membuat pabrik pasir silika, pasir kuarsa, solar panel, hingga energi baru dan terbarukan akan menyerap 35 ribu tenaga kerja. Juga bakal ada pendapatan pajak yang cukup besar. “Di lain pihak ada yang menjual bahan baku dengan sangat murah malah dibiarkan,” ungkap Tommy.
Ia juga membantah dalam rencana proyeknya akan dibangun pusat perjudian. “Tidak benar lah, saya patuh pada aturan hukum yang berlaku di Indonesia,” tegasnya.
Meski demikian, Tommy menyebut investor hingga kini belum menyatakan mundur. Paling tidak ia belum mendapatkan surat resmi. Namun, Tommy menyerahkan apapun putusan pemerintah terkait rencana investasi jumbonya di Rempang. “Kami patuh dan loyal pada putusan pemerintah dan BP Batam,” ujarnya.
Sementara itu, anggota DPRD Provinsi Kepri, Taba Iskandar, kembali menyoroti rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) di Rempang. Ia mengingatkan pemerintah agar berkomitmen dengan janjinya untuk memenuhi hak-hak masyarakat. Terutama kesepakatan yang dicapai saat Menteri Investasi Bahlil Lahadalia berkunjung ke Rempang bertemu tokoh masyarakat yang tergabung dalam Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang.
“Saya sudah berkomunikasi dengan Pak Gerisman (ketua Keramat) terkait rencana penggeseran (relokasi) yang masih menyangkut hal teknis, sehingga perlu dibicarakan lebih lanjut mengikuti perkembangan. Masyarakat mesti fokus kalau mereka tidak antiinvestasi,” ujarnya, Rabu (20/9).
Ia juga mengatakan, masyarakat tetap masuk dalam konsep pembangunan Rempang Eco City. Mereka menjadi bagian integral dalam proyek ini.
“Nah, bagaimana turunnya ini, harus dikaji lebih dalam. Artinya, kalau hanya memindahkan tempat dibangunkan rumah (dari luar Rempang menjadi tetap di Rempang, red), mesti terjamin masa depan masyarakat asli Rempang tempatan,” ujarnya.
Taba mengatakan, mayoritas warga Rempang merupakan nelayan tangkap, bukan nelayan budidaya sehingga membutuhkan sarana yang memadai. “Seperti itulah yang harus terjamin oleh pemerintah,” kata dia.
Yang masih meninggalkan pertanyaan kepada masyarakat, lanjut Taba, soal luas lahan hak milik masing-masing warga harus objektif. “Pemerintah tidak boleh subjektif atau sepihak, maka perlu dibahas bersama BP Batam dan BPN serta jangan lupa, ada foto satelit yang bisa jadi referensi posisi pulau dan penduduk,” terangnya.
Menurutnya, apabila ini dilaksanakan secara humanis dan persuasif, ketua Keramat, Gerisman, menyetujui ini. “Pemerintah harus membuktikan bahwa komitmen janjinya kepada warga bisa terlaksana dengan baik,” kata dia.
Alhasil, situasi ini juga menciptakan suasana kondusif. Situasi ke depan akan dilihat secara komprehensif, termasuk permintaan warga agar sekolah-sekolah tidak dipindahkan. Untuk itu, Taba juga mengingatkan BP Batam selaku pelaksana di lapangan, jangan sampai muncul tindakan yang menyelisihi kesepakatan Mentri Bahlil dengan warga Rempang.
Di tempat terpisah, kisruh Rempang juga membuat sejumlah tokoh masyarakat bereaksi. Antara lain, mantan kepala BP dan Gubernur Kepri pertama Ismeth Abdullah, mantan Wakil Wali Kota Batam yang juga anggota DPD RI Ria Saptarika, tokoh masyarakat Hardi S Hood, dan Stephane Gerald Martogi Siburian dari kalangan anak muda.
eempatnya memberi tanggapan persoalan Rempang dalam podcast yang dihelat Batam Pos (RPG) di Hotel Four Points by Seharton Batam, Rabu (20/9) siang. Mereka hadir dalam kapasitas sebagai bacalon DPD RI Dapil Kepri pada Pemilu 2024 mendatang. “Masalah Rempang minggu-mingu ini memang sangat-sangat memprihatinkan,” ujar Ismeth, mengawali pembicaraan.
Ismeth menilai, penyelesaian masalah Rempang harus melalui musyawarah yang orientasi akhirnya, investasi bisa berjalan tanpa mengebiri hak-hak seluruh warga Rempang. “Yang penting dalam pemanfaatan ruang, hak-hak dari warga harus dihormati dan penyelasaiannya dengan berunding, musyawarah, jangan sekali-kali memakai kekerasan,” tegasnya.
Ismeth mengaku, saat menjabat sebagai kepala BP, ia juga sering melakukan penggusuran dan relokasi warga. Namun, penggusuran dan atau relokasi itu, dilakukan dengan musyawarah dan selalu ada solusi terbaik yang bisa diberikan ke warga.
Ia mencontohkan, relokasi 3.000 warga Dam Duriangkang. Saat itu, ia menyediakan kaveling di Bida Ayu, Seibeduk, dan memberikan ongkos pindah kepada masing-masing warga.”Saya juga sering memindahkan orang. Merelokasi banyak di Batam. Alhamdulillah, tidak ada masalah,” ungkapnya.
Menurut Ismeth, selain memenuhi hak warga, pemerintah juga harus memberikan perlindungan. Sehingga masyarakat tetap mendapatkan hak dan harga diri serta kehormatan tidak dikebiri.
“Ini warga kita. Pemecahannya harus dengan cara yang baik-baik. Tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan musyawarah. Harus ada win-win solution,” tuturnya.
Ia juga mengkritisi soal deadline yang diberikan BP Batam kepada warga Rempang, di mana wilayah yang akan digunakan untuk kawasan industri harus steril 28 September ini. “Dalam berunding tidak boleh begitu. Warga Rempang itu warga kita. Bukan orang lain. Jangan ada pemaksaan begitu. Dalam berunding lakukan dengan pelan-pelan, bicara dari hati ke hati dengan warga sampai menghasilkan kesepakatan bersama yang tak mencederai hak dan kehormatan warga Rempang,” ujar Ismeth, lagi.
Hal senada dikatakan Ria Saptarika. Mantan Wakil Wali Kota Batam ini menegaskan, pemerintah harus mendapatkan persetujuan warga sebelum melakukan relokasi. “Warga di 16 kampung tua itu sudah turun temurun tinggal di sana. Puluhan, bahkan ratusan tahun. Tidak bijak dilakukan pengusiran tanpa persetujuan,” katanya.
Ia juga meminta pemerintah untuk memikirkan nasib warga sebelum merelokasi. Seperti menyediakan rumah yang laik, sehingga warga bisa menata kehidupannya di kemudian hari.
“Kenapa tidak 16 kampung tua itu ditata rapi sedemikian rupa, sehingga menjadi bagian destinasi menarik yang tak terpisahkan dari pengembangan Rempang Eco City. Ini saya kira lebih baik dan bisa diterima warga,” ujar Ria.
Ria bahkan menyampaikan gambaran salah satu solusi yang bisa saja digunakan untuk 16 kampung tua itu. Salah satunya, dari 16 kampung tua itu, mereka yang terdampak pembangunan, direlokasi di kampung terdekat dalam wilayah Rempang yang belum padat, sehingga jumlahnya menjadi 8 misalnya. Kemudian ditata sedemikian rupa, hak-hak masyarakat dipenuhi dengan baik. “Itu kan salah satu cara menatanya. Kalau dilakukan seperti itu dan apa yang menjadi hak-hak masyarakat tempatan dipenuhi, maka konflik bisa dicegah,” ungkapnya.
Sementara, tokoh Melayu Hardi S Hood menilai kisruh yang terjadi di Rempang akibat kurangnya pendekatan kultural pemerintah ke warga Rempang. “Isu penolakan relokasi itu sebenarnya jauh hari diketahui BP Batam. Saya tahu itu. Sayangnya, pendekatan mendalam, pendekatan kultular tidak ada. Kemudian timbul kekacuan psikologi masyarakat, bertubi-tubi merasakan keresahan, akhirnya timbul perlawanan,” ungkapnya.
Ia berharap, untuk menjaga situasi tetap kondusif, pemerintah harus segera melakukan pendekatan kultular. Kemudian, menarik semua pasukan atau petugas dari Pulau Rempang. “Yang penting mereka merasa nyaman, kenyamanan itu tidak bisa didapatkan masyarakat sekarang,” ujarnya.
Sedangkan Stephane Gerald Martogi Siburian menilai, permasalahan di Rempang disebabkan pendekatan yang salah oleh pemerintah. Seharusnya, pemerintah menyediakan masterplan dan solusi yang jelas dan pasti dulu untuk warga.
“Masterplan-nya mana? Pusat ke daerah disinkronkan dulu masterplan-nya. Kita (warga Rempang) mau dikemanain dulu, ini harus jelas dan tersosialisasi dengan baik,” ujar pemuda berusia 27 tahun ini.
Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus Wilayah Gerakan Ekonomi Kreatif Kepulauan Riau ini mengaku mendukung penuh investasi masuk ke Rempang karena bisa menggerakkan roda perekonomian dan menciptakan banyak lapangan pekerjaan.
Namun, tentu tidak boleh menghilangkan hak dan harkat serta martabat masyarakat yang sudah turun temurun tinggal di sana. “Tiga menteri turun ke Rempang menunjukkan investasi ini tidak main-main. Sayangnya, pendekatan ke warga sedari awal sudah kurang pas,” ujarnya.
Harusnya, kata Gerald, tahap awal pembangunan Rempang Eco City, warga tidak dipindahkan ke rusun, tapi tetap dibiarkan beraktivitas seperti biasa, sembari menyiapkan semua hak-hak warga. “Ini langsung mau direlokasi ke rusun, ya kurang pas. Apalagi masyarakat Rempang mayoritas nelayan, mau melaut jadi jauh,” tuturnya.
Keempatnya berharap, Rempang semakin kondusif dan musyawarah terus dilakukan untuk mencari solusi terbaik, sehingga investasi tetap jalan, hak dan harkat serta martabat masyarakat Rempang tak hilang. Apalagi masyarakat Rempang sedari awal menegaskan setuju investasi masuk, namun tidak mengusir mereka dari kampung halamannya.(AM/opi/rpg)