JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Penyidik senior KPK Novel Baswedan turut angkat bicara terkait rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Menurutnya, produk legislasi yang pembahasannya terkesan dipaksakan itu kental nuansa koruptif.
“Besar kemungkinan praktik memaksakan begini ada korupsi di dalamnya,” kata Novel dalam keterangannya, Ahad (4/10/2020).
Sebab hal ini, kata Novel, tidak jauh berbeda seperti pembahasan revisi Undang-Undang KPK. Menurutnya, di lembaga antikorupsi tempatnya bekerja dan berjuang itu kini sulit untuk bergerak di tengah masifnya praktik korupsi.
“Seperti KPK yang diamputasi, di tengah korupsi yang makin jadi. Pemberantasan korupsi dianggap musuh yang tidak disukai,” sesal Novel.
Sebelumnya, rapat kerja Badan Legaslasi (Baleg) DPR dengan pemerintah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta kerja untuk dijadikan Undang-Undang (UU) dalam rapat paripurna pada Kamis (8/10/2020). Sebanyak tujuh fraksi di Baleg DPR menyepakati untuk mengesahkan Omnibus Law itu menjadi UU.
Namun, langkah itu justru mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Dua fraksi di DPR yang menyatakan menolak pengesahan ini adalah PKS dan Partai Demokrat.
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Ossy Dermawan menyatakan, RUU Cipta Kerja tidak memiliki nilai urgensi dan kegentingan memaksa di tengah krisis pandemi Covid-19. Menurutnya, prioritas utama negara harus diorientasikan pada upaya penanganan pandemi, khususnya menyelamatkan jiwa manusia, memutus rantai penyebaran Covid-19, serta memulihkan ekonomi rakyat.
“RUU Ciptaker ini membahas secara luas beberapa perubahan UU sekaligus (omnibus law). Karena besarnya implikasi dari perubahan tersebut, maka perlu dicermati satu per satu, hati-hati, dan lebih mendalam, terutama terkait hal-hal fundamental, yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Apalagi masyarakat sedang sangat membutuhkan keberpihakan dari negara dan pemerintah dalam menghadapi situasi pandemi dewasa ini,” ucap Ossy dalam keterangannya, Ahad (4/10/2020).
“Tidak bijak jika kita memaksakan proses perumusan aturan perundang-undangan yang sedemikian kompleks ini secara terburu-buru,” sambungnya.
Menurut Ossy, Omnibus Law di satu sisi bisa mendorong investasi dan menggerakkan perekonomian nasional. Namun di sisi lain, hak dan kepentingan kaum pekerja tidak boleh diabaikan apalagi dipinggirkan. Bahkan berpotensi meminggirkan hak-hak dan kepentingan kaum pekerja di negeri kita. Sejumlah pemangkasan aturan perizinan, penanaman modal, ketenagakerjaan dan lain-lain, yang diatasnamakan sebagai bentuk reformasi birokrasi dan peningkatan efektivitas tata kelola pemerintahan.
“Saya pikir ini justru berpotensi menjadi hambatan bagi hadirnya pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan,” pungkas Ossy.
Sumber: JawaPos.com
Editor: Afiat Ananda