PEKANBARU dan NATUNA (RIAUPOS.CO) -- Sebanyak 243 warga negara Indonesia (WNI) yang dievakuasi dari Kota Wuhan, Cina terkait penyebaran virus corona saat ini melewati masa karantina. Tempatnya di Natuna, Kepulauan Riau. Proses tersebut direncanakan berjalan selama 14 hari. Terhitung sejak WNI dari Wuhan itu tiba di Tanah Air, Ahad (2/2) lalu.
Bahkan sejak hari pertama datang, peserta karantina sempat tidak dibolehkan menggunakan telepon genggam. Baru pada Senin (3/2) malam diboleh menggunakan alat komunikasi. Hal itu diungkapkan salah seorang mahasiswa asal Riau, Riza Delviani yang saat ini masih berada di Natuna.
"Kabar baik. Saat ini keadaan aman terkendali," ujar Riza kepada Riau Pos melalui pesan singkat WhatsApp.
Tak banyak kegiatan yang dilakukan selama masa karantina. Hanya saja ada dua kali jadwal pemeriksaan kesehatan dalam sehari. Yakni pagi dan malam.
"Setiap hari pemeriksaan (kesehatan). Pagi dan malam. Kegiatan cuma makan sama tidur," imbuhnya.
Hal senada disampaikan mahasiswa Riau lainnya, Rio Alfi. Sekitar pukup 22.33 malam tadi, Rio sempat membagikan kabar lewat status WhatsApp. Ia menyebut telepon genggam yang biasa dia gunakan baru bisa aktif.
"Alhamdulillah. Mohon maaf, HP baru kembali dari keterasingan," ujar Rio dalam status yang ia bagikan.
Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Mimi mengakui 6 warga Riau yang telah dievakuasi dari Wuhan tengah melewati masa karantina. Jika dinyatakan bersih, barulah seluruh WNI dipulangkan ke daerah asal masing-masing. Termasuk 6 warga asal Riau.
"Ini untuk melihat perkembangan kesehatan mereka, karena kan masa inkubasi itu dari dua hingga 14 hari. Kalau clean and clear barulah mereka didrop ke keluarga masing-masing di Riau," ucap Mimi.
Kota Tua Menjadi Kota Mati
Rasa takut warga Natuna terhadap virus corona menuntun warga untuk eksodus. Mereka meninggalkan rumahnya yang berdekatan dengan lokasi observasi. Bahkan, banyak pula yang meninggalkan Pulau Natuna. Ketakutan terhadap mewabahnya virus corona akibat tidak adanya sosialisasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Dari Pulau Natuna, ada dua jalur yang bisa digunakan untuk keluar pulau. Jalur udara yang hanya ada dua kali penerbangan dalam sehari dan kapal yang jadwalnya seminggu sekali. Kapasitas untuk pesawat hanya 170 orang dan 130 orang. Untuk penerbangan keluar Natuna kemarin, kedua pesawat sudah terisi penuh.
Untuk jalur laut, Kapal Bukit Raya satu-satunya kapal yang melayani keluar Natuna. Dari data Dinas Perhubungan Natuna, diketahui sebelum adanya WNI dari Wuhan rata-rata jumlah penumpang Kapal Bukit Raya hanya 400 orang per perjalanan.
Namun, penumpang Kapal Bukit Raya, Ahad malam (2/2) meningkat menjadi 675 orang. Hari yang sama di mana WNI dari Wuhan tiba di Natuna.
"Saya tidak mengetahui kenapa meningkat, mungkin karena kebetulan sekolah libur," tutur Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Natuna Iskandar DJ.
Eksodus yang dilakukan warga begitu terasa di Desa Kota Tua, Penagi. Dari desa itu hanya dengan pandangan mata, atap hanggar yang menjadi lokasi karantina pun terlihat. Jaraknya bila dicek di Google Map hanya 1,4 km. Namun, bila warga Kota Tua Penagi memprediksi jarak lokasi karantina dengan desa mereka tidak lebih dari 1 km. Ketua RT 1 Kota Tua Penagi Yohanes Suprianto menuturkan, jumlah warga di desa Kota Tua Penagi mencapai 373 jiwa. dari jumlah itu yang tercatat memutuskan eksodus mencapai 81 orang.
"Ini yang melapor ke saya ya. Artinya, saat ini hanya tinggal 292 orang," tuturnya ditemui di rumahnya kemarin.
Dari jumlah itu, kemungkinan akan makin banyak warga yang pindah untuk sementara. Menurutnya, ada tetangganya yang juga berencana untuk pindah sementara.
"Tapi, menunggu kapal. Kapal yang Ahad malam rutenya tidak ke pulau tujuannya," jelasnya.
Sementara Koordinator Warga Penolak Karantina di Natuna, Kiki Firdaus menuturkan ada banyak warga Natuna yang memang memutuskan eksodus. Salah satunya, tetangganya yang bernama Fadli.
"Sebenarnya, Fadli ini ada tugas kedinasan," ujarnya.
Tapi, karena ada karantina WNI dari Wuhan, maka Fadli memutuskan sekalian membawa istri dan anaknya.
"Mereka ke Pulau Serasan, salah satu pulau terdekat di Natuna," jelasnya kepada Jawa Pos (JPG), kemarin.
Sebenarnya, ketakutan warga Natuna terhadap proses karantina ini diakibatkan minimnya sosialisasi dari pemerintah pusat. Menurutnya, dirinya baru mengetahui bila Natuna akan digunakan sebagai tempat karantina pada Jumat malam (31/1).
"Itu juga dari surat edaran yang dikirim melalui WhatsApp," ujarnya.
Sama sekali tidak ada penjelasan apapun dari pemerintah. Bagaimana keamanan dari lokasi karantina itu dan jaminan virus corona tidak menyebar juga tak ada.
"Kami hanya tahu dari surat edaran dan berita," keluhnya.
Yang lebih menohok, ada pembohongan publik bahwa lokasi karantina disebut jaraknya enam kilometer dari permukiman. Kiki menuturkan rumahnya hanya berbatasan hutan bakau dengan lokasi karantina.
"Saya sudah cek melalui Google Map, jaraknya hanya 1,5 km dari rumah saya di Pering," terangnya.
Nasib serupa dialami Yohanes Suprianto. Dia mengatakan, sebagai warga yang bermukim paling dekat dengan lokasi karantina pun tidak mendapatkan informasi apapun dari pemerintah pusat. Baik dari Kementerian Kesehatan atau kementerian lainnya.
"Hanya ada dari Dinas Kesehatan Kabupaten Natuna, yang memberikan selembar kertas cara mencegah corona menjangkit," jelasnya.
Kondisi itu yang membuat warga tergerus kepercayaannya terhadap lokasi karantina. Menurutnya, kalau saja pemerintah melakukan sosialisasi beberapa hari sebelumnya. "Empat lima hari sebelumnya, kondisinya pasti berbeda," tuturnya.
Dia mengatakan, warga di sekitar lokasi karantina memiliki hak untuk mengetahui bagaimana dampak dari karantina terhadap warga. Bagaimana teknis pemerintah mencegah virus corona menjangkiti warga.
"Informasi semacam ini sama sekali tidak didapatkan. Kalau kami dapat informasi ini tentunya ketakutan warga berkurang," ujarnya. Seakan-akan Kota Tua ini menjadi kota mati karena karantina tersebut. Ketakutan itu begitu terasa bagi warga Desa Kota Tua. Seperti yang dialami keluarga Edi Suroso atau Tedja dan istrinya Biah. Pada hari yang sama dengan kedatangan WNI dari Wuhan, Biah berkemas-kemas untuk pindah. "Dia lapor ke saya sembari menangis histeris," ujarnya.
Semua warga juga merasakan ketegangan saat itu. Biah saat itu mengaku akan pindah dulu untuk menghindari kemungkinan terjangkit virus corona. "Itu wajar, karena anaknya yang kecil usia satu tahun, memang sedang sakit-sakitan," paparnya.
Dia mengatakan, kondisi ekonomi masyarakat juga terpengaruh. Banyak nelayan tidak melaut, warung tutup karena pekerja pelabuhan tidak bekerja. "Warung di desa ini jelas omsetnya menurun drastis," tuturnya.
Sementara pemilik Warung Makan di Desa Kota Tua, Nuriah, 56, menjelaskan bahwa memang sebelum adanya karantina itu biasanya dalam sehari bisa mendapatkan omzet Rp300 ribu. "Pekerja pelabuhan itu biasanya datang makan di sini," tuturnya.
Tapi, untuk Senin ini (3/2) Nuriah harus menelan pil pahit. Dalam sehari hanya Rp10 ribu yang didapatkannya. "Cuma satu botol air mineral yang laku," keluhnya sembari dengan mata yang memerah.
Dia mengaku sebenarnya juga ingin pindah untuk menghindari berdekatan dengan lokasi karantina. ”Tapi mau ke mana, tidak ada tempat,” tuturnya. Saat itu pula dia meminta agar pemerintah memberikan kompensasi atas carut marutnya proses karantina WNI Wuhan.
Nuriah menuturkan, kerugian ini siapa yang bertanggungjawab. Kalau ada dari pemerintah tentu sangat diharapkan. "Saya merasa sangat rugi, harusnya ada bantuan," keluhnya.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono menyatakan penempatan observasi di Natuna didasari oleh banyak pertimbangan. Sebenarnya banyak opsi yang disiapkan. Namun melihat jumlah yang harus diobservasi, waktu, dan kedaruratan, maka Pangkalan Terpadu TNI di Natuna menjadi pilihan.
Terkait dengan penolakan warga, Anung menjelaskan bahwa Kemenkes telah memiliki skenario penanggulangan. Jarak antara tempat observasi dengan perkampungan dinilai cukup jauh. "Virus ini tidak kuat (tidak bertahan (red) dalam udara," katanya.
Selain itu tenda atau kamar yang digunakan untuk karantina sudah diatur sedemikian rupa. Misalnya tenda terdiri dari dua lapis dan ada pengaturan sirkulasi udara. Dia berharap dengan cara ini tidak terjadi penularan hingga ke masyarakat.Pertimbangan lainnya adalah psikologis WNI yang dievakuasi. Sebenarnya ada tempat yang lebih jauh dan terpencil. Namun jika ditempatkan di lokasi tersebut, dikhawatirkan 238 WNI itu akan stres.
"Konsep karantina ini untuk observasi bukan membatasi," bebernya.
Belum lama ini, tersiar kabar bahwa Indonesia tidak memiliki kit untu pemeriksaan korona virus. Sehingga memerlukan waktu lama untuk mendeteksinya. Hal tersebut mendapat bantahan dari Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. "WHO sendiri yang bilang bahwa Indonesia sudah bagus standarnya (deteksi, red)," tuturnya.
Untuk melakukan peneitian apakah terdapat virus 2019 nCoV, Indonesia hanya menggunakan lab milik Badan Litbang Kemenkes (Balitbaangkes). Kepala Balitbangkes Siswanto mengatakan bahwa pada awal ditemukan virus tersebut, maka tidak ada primary untuk memecah RNA atau DNA 2019-nCoV. Namun untuk menyelidikinya, bukan berarti Indonesia tak bisa. (lyn/ted)