Sebaliknya jika di lingkungan sekolah itu tidak ada madin atau pesantren, sehingga anak-anak perlu wahana belajar agama, sekolah sampai sore tentu cukup penting untuk dilakukan. Para ulama, menurut Suwendi, pasti mendahulukan kepentingan anak didik dan kearifan lokal. Ketimbang menjaga gensi sekolah untuk menjalankan lima hari sekolah.
Di dalam Perpres tersebut, ada empat pertimbangan bagi sekolah yang ingin menjalankan lima hari sekolah atau full day school. Selain pertimbangan tokoh agama, juga kecukupan guru, ketersediaan sarpras, serta kearifan lokal. Menurut Suwendi ketersediaan guru sangat penting untuk menunjang sekolah sampai sore.
Dia mencontohkan sekolah yang kekurangan guru agama, jangan memaksakan menggelar sekolah sampai sore. Apalagi tambahan belajarnya itu bermuatan agama. Sebab pengurus rohis bisa saja menggunakan jasa guru agama dari luar sekolah yang sulit diawasi pemahamannya. ‘’Kita khawatir guru yang digunakan rohis itu justru menanamkan pemahaman agama yang radikal dan ekslusif,’’ paparnya.
Suwendi menegaskan keputusan menjalankan sekolah lima hari atau enam hari dalam sepekan, tidak lagi ditetapkan oleh kementerian ataupun dinas pendidikan. Keputusan sekolah itu diselenggarakan dalam lima hari atau enam hari, murni ditetapkan oleh masing-masing sekolah. Meskipun sekolah itu adalah sekolah negeri.
Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah mendukung keterlibatan tokoh masyarakat dan komite dalam penetapan sekolah itu digelar lima hari atau enam hari dalam sepekan. Sebab yang mengetahui keseharian siswa itu adalah orangtuanya sendiri. ‘’Bukan sekolah,’’ tutur politisi Golkar itu.