”Anak saya mau pergi ujian. Saat itu ia kelas 6 SD. Keluar dari rumah dan menyeberang jalan. Tepat ditengah jalan sebuah mobil melaju cepat. Anak saya ditabrak hingga bersimbah darah,” kenangnya mengingat kisah pahit yang dialaminya. Beberapa tetangga sempat mengejar mobil yang menabrak anaknya. Namun para tetangga yang mengejar mendapati mobil tersebut masuk kedalam kantor kepolisian.
Segala macam upaya dilakukannya untuk melaporkan peristiwa tersebut. Namun pengaduan Indra selalu dibuat berbelit.”Maklum saat itu masih zaman orde baru,”katanya. Waktu berjalan. Tahun ke tahun selalu dilewatinya dengan perjuangan akan kepastian hukum untuknya dan untuk masyarakat kecil lainnya yang menurut Indra banyak ditindas oleh hukum yang katanya kuat di Indonesia.
Meski di Malang ia tidak mendapatkan keadilan, ia tetap merasa optimis dan yakin bahwasanya diluar sana (diluar Malang) ada seseorang yang mampu menegakkan keadilan. Semenjak itulah ia mulai berjalan kaki. Saat memulai ia berjalan dari Malang ke Istana Negara. Ia sempat menemui Presiden Susilo Bambang Yudoyono beberapa kali pada 2013 untuk mengadukan nasibnya.
Namun tidak ada realisasi dari janji yang didapatinya. Saat itu ia sempat diberikan uang oleh Presiden SBY yang menjabat kala itu. Namun uang sebanyak Rp 25 Juta itu dikembalikannya karena ia bukan mencari uang, tapi mencari keadilan.”uang itu saya kembalikan dan diterima di gedung Binagraha,”ujarnya.