Pertanyaan:
Apa hukum puasa orang yang musafir yang tidak mengalami kesulitan apa-apa di perjalanan? Seperti dari rumah di antar ke airport dengan mobil ber-AC, kemudian naik pesawat menuju tujuan. Mana yang lebih baik puasa atau berbuka?
Abdul Muthalib (Tanjungpinang - Kepri).
Jawab:
Seorang musafir yang melakukan perjalanan jauh, mendapatkan keringanan dari Allah SWT untuk mengqoshor salat dan utk berbuka (tidak berpuasa), namun tetap menggantinya di gari yang lain. Keterangan ini berdasarkan firman Allah Surat al-Baqarah ayat 185.
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
Namun jika seseorang itu tetap berpuasa, maka puasanya sah. Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu sah. Jika diperhatikan keterangan di atas, ternyata kedua-duanya sah. Pertanyaannya lagi, mana yang lebih baik puasa atau berbuka. Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama berbeda pendapat berdasarkan situasi dan kondisi dari musafir itu. Dalam hal ini ada tiga kondisi dari musafir itu yaitu :
1.Jika musafir itu merasa berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih baik baginya untuk tidak berpuasa. Hal ini berdasarkan hadis Jabir bin ‘Abdillah.
“Rasulullah SAW ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi SAW mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi SAW bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”. Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
2. Jika musafir itu tidak merasa berat untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuknya untuk berpuasa. Hal ini seperti yang dicontohkan oleh Nabi SAW di mana beliau masih tetap berpuasa ketika safar.
Abu Darda RA meriwayatkan “Kami pernah keluar bersama Nabi SAW di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi SAW dan Ibnu Rowahah saja yang berpuasa ketika itu.
Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang lain tidak berpuasa.
3.jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah SAW keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-orang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah SAW mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka. Nabi SAW mencela keras karena berpuasa dalam kondisi yang sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela dan diharamkan. Wa Allah A’lam bi al-shawab.*