Bolehkah Menjual Buah di Pohonnya?

MUI Menjawab | Kamis, 22 April 2021 - 11:19 WIB


Pertanyaan :
Apa hukum menjual buah yang berada di atas pohon?
Marnus Syafi’i, Kuansing

Jawab:
Penjualan buah yang masih berada di atas pohon dalam ilmu fikih disebut “bay’ ats-tsamâr wa hiya ‘alâ ushûlihâ (menjual buah yang masih berada di pohon), dan dalam istilah masyarakat umum disebut “dhimân asy-syajar (menjaminkan pohon atau dalam istilah lain  memajak pohon yang berbuah). Penjualan yang seperti ini adalah sah, dengan ketentuan buahnya telah mulai layak walaupun belum semuanya masak, sebab buah di pohon itu tidak  semuanya masak secara bersamaan.


Jika telah tampak kelayakannya, yakni menjadi mungkin dimakan (dikonsumsi), maka boleh menjaminkannya yakni boleh menjual buah tersebut dalam kondisi ini. Jika buah itu belum tampak kelayakannya, yakni belum bisa dimakan, maka tidak boleh menjualnya.  Rasulullah menegaskan dalam hadisnya;

“Rasulullah saw melarang menjual buah-buahan hingga tampak baiknya.

Imam al-Bukhari dari Anas bin Malik dari Nabi saw bersabda:

“Bahwa Beliau melarang menjual buah sampai tampak kelayakannya, dan dari menjual kurma sampai yazhû”.  Dikatakan, apa itu yazhû? Beliau bersabda: “memerah atau menghijau”.

Dan juga karena apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik:

“Bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah sampai tuzhî”. Maka dikatakan kepada beliau, apa tuzhî itu? Beliau bersabda: “sampai memerah”. Lalu Beliau bersabda: “bagaimana pendapatmu jika Allah melarang buah, dengan apa salah seorang dari kalian mengambil harta saudaranya?”

Hadis-hadis di atas berisikan larangan menjual buah sebelum matang. Pada hakikatnya tidak boleh menjual buah sebelum tampak kelayakannya. Dan dari mafhumnya di-istinbath bolehnya menjual buah jika tampak kelayakannya. Dengan demikian maka menjaminkan pohon yang telah tampak buahnya seperti zaitun, kurma dan lainnya boleh jika  bisa dimakan, dan tidak boleh jika belum bisa dimakan.

Adapun yang dimaksud dengan  tampak kelayakannya itu bukanlah tampak kelayakan semua buah, karena hal itu mustahil. Sebab buah itu masak sebutir demi sebutir atau sebagian demi sebagian kemudian berturut-turut sampai seluruhnya. Maksud tampak kelayakan itu bukan di satu kebun seluruhnya dan bukan tampak kelayakan seluruh kebun. Akan tetapi, yang dimaksud tampak kelayakannya adalah tampak kelayakan jenisnya jika tidak berbeda jenis (satu jenis buah), dengan matang seperti Zaitun; atau tampak kelayakan jenisnya jika berbeda jenisnya seperti Tin dan Anggur. Misalnya, tampak layak sebagian buah Kurma di kebun maka boleh menjual buah Kurma itu seluruhnya di seluruh kebun itu. Jika tampak layak satu jenis apel di sebagian pohon maka boleh menjual jenis apel itu di seluruh kebun tersebut. Jika tampak layak buah zaitun di beberapa pohon suatu kebun maka boleh menjaminkan zaitun dari seluruh kebun itu. Sebab hadits mengatakan:

“Rasulullah melarang menjual kurma sampai memerah dan dari menjual Sunbul sampai memutih dan aman dari cacat”.

 Dan hadits mengatakan:

“Rasulullah saw melarang menjual anggur sampai menghitam dan dari menjual biji sampai mengeras” (HR Abu Dawud).

Jadi hadits menjelaskan hukum buah setiap jenis dan setiap macamnya. Hadits mengatakan dalam biji “hattâ yasytadda –sampai mengeras-“, pada Anggur hitam “hattâ yaswadda –sampai menghitam-“. Jadi hukum tersebut bergantung pada tampaknya kelayakan setiap jenis dengan tidak memperhatikan jenis lainnya, dan setiap macam tanpa memperhatikan macam lainnya. Kalimat tampak kelayakan yang ada di dalam hadits pada satu jenis dan satu macam berlaku pada sebagian buah betapapun sedikitnya, apalagi bahwa fakta buah menunjukkan tampak kelayakannya itu berturut-turut (tidak sekaligus berbarengan).

Dari yang demikian menjadi jelas bahwa tidak boleh menjaminkan suatu buah, yakni menjual buah suatu pohon sebelum tampak kelayakannya. Wa Allah A’lam bi al-shawab.

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook