Pasalnya, menurut Asmar, untuk penanggulangan abrasi di Kepulauan Meranti tidak menjadi wewenang pemerintah daerah, melainkan provinsi dan pusat.
“Soal penanggulangan ini yang membuat kita serbasalah, karena masuk dalam postur anggaran belanja dan rumah tangga daerah,” katanya kepada Riau Pos, beberapa waktu lalu.
Untuk itu ia meminta seluruh masyarakat yang terdampak, paham dengan kondisinya sebagai kepala daerah yang belum menjabat sebagai Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti. Dengan demikian ia tetap butuh dukungan moral agar program skala prioritas dapat berjalan sesuai harapan.
“Kita adalah yang terpanjang, untuk daerah Riau ada sebanyak 161 kilometer yang terkena dampak abrasi, dan 106,87 kilometer itu ada di Kepulauan Meranti,” sambungnya lagi.
Dari data tersebut bahkan diprediksi garis pantai akan bergeser 772,4 meter ke arah darat.
Adapun laju abrasi yag terjadi di Kecamatan Rangsang Pesisir tidak kurang 3,6 M setiap tahunnya. Begitu juga di Kecamatan Rangsang hingga 8 M setiap tahunnya dan Kecamatan Rangsang Barat 8,8 M setiap tahunnya.
Menurutnya abrasi di Kepulauan Meranti dampak kurangnya pemahaman masyarakat terhadap fungsi mangrove. Aktivitas itu masih berlangsung hingga saat ini sebagai sumber penghasilan ekonomi masyarakat kecil.
Sedangkan faktor lingkungan adalah karakteristik tanah gambut, gelombang dan arus laut yang besar dari Selat Malaka.
“Rusak dan hilangnya kebun masyarakar bahkan hilangnga tempat tinggal masyarakat,” ujarnya.
Sisi lain juga berpengaruh pada pertahanan keamanan. Panjang garis pantai juga berkurang hingga mempengaruhi luas wilayah negara.
Dari kajian jajarannya, kebutuhan anggaran sesuai dengan sebaran abrasi di Kepulauan Meranti maka dibutuhkan biaya yang sangat besar yaitu Rp3,6 triliun lebih.
Menyikapi itu ia mengaku tak henti mengejar bantuan dari pemerintah pusat agar penanggulangan segera teratasi.(gus)
Laporan Wira Saputra, Selatpanjang