MELIHAT SLB SEKAR MERANTI, DESA ANAK SETATAH, KEPULAUAN MERANTI (1)

Menanti Ambruknya Sekolah Khusus

Kepulauan Meranti | Sabtu, 16 November 2019 - 10:41 WIB

Menanti Ambruknya Sekolah Khusus
MENGKHAWATIRKAN: Rudi Hartono menunjukkan SLB Sekar Meranti makin mengkhawatirkan. (WIRA SAPUTRA/RIAU POS)

Saldo Rekening sampai Kosong
Rudi bercerita, dia tergerak mendirikan sekolah luar biasa itu berawal dari keprihatinannya terhadap nasib pendidikan anak-anak disabilitas di pesisir Selat Malaka tersebut. Semula, ia berprofesi sebagai penjaja ikan dengan sepeda motor roda dua dari rumah ke rumah warga desa.  "Dulu jual ikan keliling kampung. Ketika itu saya masih sehat," ungkapnya.

Saat berjualan ikan, ia melihat banyak anak-anak disabilitas tidak mendapatkan pendidikan layak. Mereka banyak menghabiskan waktu di rumah atau bahkan hanya dikurung di kamar oleh orangtuanya.


Dari pendataan yang dilakukan oleh adiknya Syafrizal, ketika itu tidak kurang 200 anak disabilitas, namun tidak seorang pun dari mereka medapatkan pendidikan khusus.

"Sedih, karena inilah satu-satunya SLB di di Kecamatan Rangsang Barat," ujarnya.

Sementara mayoritas masyarakat di desanya keluarga yang tidak mampu. Mereka tidak memiliki cukup biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya di SLB Selatpanjang. Lagipula, untuk ke Selatpanjang mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh dan harus menyeberangi laut. Dengan kondisi itu, 2014 silam timbul niat untuk membangun sekolah bagi anak anak tersebut. Lantas tanpa ragu, ia mengajak adiknya, Syafrizal, untuk mendirikan sekolah yang dimaksud.

Niat baik suami dari Suriyana ini mendapat dukungan sang istri dan anggota keluarga lainnya. Berbekal tabungan milik Syafrizal, mereka lantas mendirikan sebuah yayasan.

"Sampai kosong saldo di rekening adik saya untuk modal mendirikan sekolah ini," ujar Rudi.

Dengan didukung anggaran yang minim, sehingga sekolah tersebut hanya dibangun menggunakan pondasi atau tongkat dari potongan pohon kelapa. "Makanya tidak bisa bertahan lama," tuturnya.

Walaupun telah berupaya untuk seirit mungkin, pembangunan sekolah itu tidak juga rampung. Tidak sempurna. "Belum siap. Ketika itu dindingnya hanya naik tiga keping papan dari bawah  dan sebagian besarnya tidak berdinding sampai ke atas. Namun sudah beratap dan berlantai," ungkapnya.

Saking parahnya, banyak instansi yang merasa iba dengan kondisi tersebut. Seperti 2017 silam mereka mendapat bantuan dari Polres Kepulauan Meranti belasan keping papan untuk dinding  dan uang Rp5 juta yang difungsikan untuk persediaan mebeler seperti kursi dan meja belajar. Selain bantuan dari Polres. Pada tahun yang sama mereka juga menerima bantuan dari Lanal Dumai. Selain menyaurkan matrial, mereka juga bergotong royong membangun sekolah ini.

Beruntun di tahun yang sama lagi, PLN Cabang Dumai juga menyalurkan CSR. Namun bantuan fisik itu harus diperuntukkan mambangun fasilitas musala dan toilet.

"Kami minta bangunan sebagai ruang belajar. Tapi kata mereka tak boleh, karena dalam petunjuknya harus bangun musala dan toilet saja. Sehingga bangunan ruang belajar ini tidak bisa bertahan," ungkapnya.(bersambung)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook