FESTIVAL PERANG AIR DI MERANTI DIMULAI

1.088 Lampion Meriahkan Imlek di Kampung Tionghoa

Kepulauan Meranti | Minggu, 26 Januari 2020 - 10:11 WIB

1.088 Lampion Meriahkan Imlek di Kampung Tionghoa
Suasana warga di kawasan Kampung Tionghoa yang berada di Jalan Karet untuk menantikan pergantian tahun baru Imlek 2571, Jumat (24/1/2020) malam. Tampak lampion bergelantungan di beberapa ruas jalan. EVAN GUNANZAR/RIAU POS

Informasi yang dihimpun melalui Persatuan Perhotelan dan Restoran Indonesia (PHRI) Kepulauan Meranti, jauh sebelum tibanya hari puncak banyak pengunjung telah lakukan reservasi penginapan. Bahkan dari delapan hotel yang tersebar, semuanya penuh mulai Senin ( 27/1) hingga Kamis (30/1).


MENIKMATI: Sejumlah warga menikmati Festival Perang Air di Jalan Kartini Kelurahan Selatpanjang Kota, Kecamatan Tebingtinggi, Kepulauan Meranti, Sabtu (25/1/2020). WIRA SAPUTRA/RIAU POS


FPA dalam perayaan Imlek di Kota Selatpanjang melekat. Dari tahun ke tahun terus menjadi sorotan warga etnis Tionghoa belahan dunia. Pasalnya, setiap tahun pasca-Imlek, Pemda Kepulauan Meranti mengklaim terdapat puluhan ribu orang wisatawan lokal hingga macanegara ke sana. Mulai dari Malaysia, Singapura, Thailand, Cina, Australia bahkan Korea.

Festival itu berlangsung enam hari berturut-turut. Masyarakat berkumpul di pinggiran jalan dan sebagian mengelilingi Kota Selatpanjang dengan beca roda tiga sebagai alat transportasi. Mereka saling siram air dengan menggunakan segala bentuk wadah yang dianggap aman.

Awalnya, 2014 lalu tradisi ini dikenal dengan perang air, dan 2016 namanya diganti Cian Cui. Namun pada 2019 kembali berganti menjadi Festival Perang Air (FPA). Tapi kini, tahun 2020 kembali berubah ke Cian Cui. Helat ini dinilai unik karena festival yang serupa hanya ada dua di dunia. Satu lagi digelar di Thailand dengan sebutan Songkran.

Kepala Bagian Kehumasan Panguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Tugimin kepada Riau Pos bercerita, tradisi warga mereka yang berstatus perantauan jelang Imlek berduyun-duyun mudik. Pulang ke kampung halaman untuk merayakan Imlek bersama dan melakukan segala tradisi. Kunjung-mengunjungi dengan sanak saudara dengan becak roda tiga.

Dalam satu beca, selain kedua orang tua, juga ada anak-anaknya. Pada saat itu, anak-anak hobi main perang-perangan air dengan senapan mainan. Setiap berpapasan antara beca satu dengan beca lainnya, mereka saling tembak. Kebiasaan perang air tersebut tidak hanya terjadi saat Imlek, malah tradisi itu juga ada saat Idulfitri.

Memang ketika itu sempat beralih dari perang air ke perang menggunakan senapan berpelor plastik warna. Namun, karena dinilai berbahaya, akhirnya ada larangan. Setelah itu permainan beralih menggunakan semprot salju, namun harganya mahal dan warga kembali beralih kepada perang air.

Sehingga ia berasumsi jika perang air tersebut terjadi tiba-tiba. Setelah mulai ramai, Pemda Meranti melirik. Helat dikemas maksimal, hasilnya masuk di Kalender Iven Pariwisata Nasional 2019 dan tercatat di MURI . Langkah tersebut diinisiasi mantan Kadisparpora Meranti Ismail Arsyad, mantan Kapolres Meranti Pandra Zahwani, tokoh warga Tionghoa Alm Efendi, dan Ketua PHRI Raden Uyung Putra Salis.

Untungnya Perang Air

Dihitung kasar, miliaran rupiah uang yang beredar di Selatpanjang sepekan berlangsungnya perang air. Asumsi itu ditakar melalui jumlah wisatawan yang datang. Setiap tahun dari data yang dilansir oleh Pemda Meranti tidak kurang 20 ribu orang wisatawan yang mengkuti festival tersebut.

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook