Gadis Desa Salo, bahkan yatim sejak SD, tapi tidak pernah patah semangat. Didorong oleh teman-teman dan didukung keluarga serta rasa pantang menyerah dan terus berdoa kepadal Allah, Tiara Damayanti memberanikan diri merantau ke Prancis.
KAMPAR (RIAUPOS.CO) -- Membayangkan untuk kuliah saja agaknya sulit bagi Tiara. Dia tidak seperti anak-anak lain di desanya yang masih memiliki ayah dan ibu. Dirinya seorang yatim. Tapi dia punya cita-cita setinggi langit dan terkenal sebagai siswi yang rajin dan pintar di SMAN 1 Bangkinang Kota. Belum terpikir akan kuliah di mana saat masih kelas 3 SMA, kesempatan yang menantang datang padanya.
Kesempatan itu datang dari Yayasan Pengkaderan Anak Riau (Yapari), organisasi nirlaba bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang digawangi putra-putri Kabupaten Kampar dan berbasis di Kota Bangkinang. Bila melihat daftarnya, Yapari agaknya kurang meyakinkan, karena semuanya pengurusnya masih anak muda, bahkan saat berdiri masih digawangi anak-anak SLTA aktif. Tapi mereka punya cita-cita yang sama, kuliah ke luar negeri kalau bisa tanpa biaya.
Salah satu di antara mereka adalah Tiara. Dari kecil gadis ini memiliki obsesi dan impian besar terhadap budaya dan geografis Eropa. Terlebih dia adalah pengagum terberat Film Harry Potter sebuah film fiksi yang terkenal yang diadopsi dari novel fiksi terkenal Harry Potter karya JK Rowling. Hal ini semakin meningkatkan obsesinya terhadap budaya dan geografis Eropa.
Singkat cerita, pada 2017 lalu Tiara bergabung Yapari, yang membuka matanya, membesarkan jiwanya dan memotivasi serta memberikan jalan kepadanya untuk menggapai cita-cita. Yaitu hidup dan berpendidikan di Eropa.
Tidak tanggung-tanggung, negara yang pilihnya adalah Prancis. Tari menyebutkan, Prancis merupakan negara terpenting di dunia, baik di zaman peradaban klasik maupun peradaban modern. Negara itu banyak melahirkan ilmuwan-ilmuwan dan seniman-seniman penting untuk peradaban dunia.
"Hal yang menjadi semangat "Saya sampai saat ini ialah, anak desa bisa ke Prancis itu bukan cerita bualan belaka. Buktinya Saya sampai di sini berkat perjuangan, doa dan usaha yang tak mengkhianati hasil. Allah akan memberikan jalan," terangnya.
Tiara sejak Oktober tahun ini sudah berada di Prancis. Dirinya sedang saat ini sedang menempuh persiapan untuk kuliah di Prancis. Tiara kepada Riau Pos bercerita, bahkan dirinya tidak pernah terfikir secepat itu untuk dapat menjejakkan kakinya di daratan Eropa. Dirinya siap bermukim dan kuliah di salah satu yang memiliki sejarah panjang peradaban, Strasbourg, Alsace, tempat parlemen Eropa berada.
Tiara bercerita, awal dirinya bisa sampai ke Alsace, Perancis ialah ketika dirinya mencari tepat persiapan bahasa Perancis di Perancis langsung. Dirinya mencari yang biaya murah, kalau bisa gratis. Setelah mencari akhirnya mendapatkan sponsor atau keluarga angkat yang membiayai kehidupannya selama menempuh persiapan kuliah di sana.
Tiara sangat bersyukur. Selama dua bulan di sana, dirinya sudah berkesempatan menjejak Inggris sebagai tempat transit, lalu ke Portugal yang mengeluarkan visa Schengen-nya dan juga Jerman sebagai tempat dirinya berkegiatan dan berbisnis.
"Orang-orang selalu hanya melihat dan mengapresiasi hasil. Sementara orang-orang selalu mengabaikan seperti apa proses dan jalan yang orang-orang seperti saya tempuh hingga sampai seperti ini," sebut Tiara. Tidak Mudah
Untuk kuliah ke luar negeri sangatlah rumit. Apalagi S1. Lebih beratnya lagi jika berasal dari kelas sosial menengah ke bawah dan bukan orang-orang yang terlalu menonjol dalam bidang akademik. Hal ini dirasakan Tiara sendiri.
Yang dirasakan calon mahasiswa S1 luar negeri seperti Tiara adalah masa tunggu yang lama. Bahkan menurut Yapari, ada yang menunggu dari 1 hingga 4 tahun. Ini termasuk dalam proses menunggu panggilan (Qobul, Letter of Acceptance dan Offer Letter), menunggu cairnya beasiswa, menunggu sponsor, proses-proses yang panjang untuk melengkapi dokumen.
"Butuh kesabaran, itu ujian terberatnya adalah aspek sosial. Ketika kita berasal dari kalangan biasa-biasa saja baik secara ekonomi maupun akademik lalu bercita-cita ingin kuliah ke luar negeri, maka akan ada banjir cemoohan, hujatan bahkan hinaan. Akan banyak orang yang menertawakan cita-cita anda yang dianggap terlalu besar," sebut Tiara.
Ujian berikutnya yang tak kalah berat bagi Tiara yang merupakan satu-satunya anak perempuan di rumahnya adalah keluarga. Terkadang mahasiswa-mahasiswa luar negeri dari Yapari seperti dirinya hanya memiliki single parents atau keduanya telah tiada atau piatu. Tiara sendiri sejak kelas 3 SD sudah ditinggal wafat ayahnya. Dirinya harus melewati persoalan keluarga pada sisi ekonomi, paradigma, budaya dan pandangan agama tertentu yang juga menjadi tantangan untuk para calon mahasiswa luar negeri.
Yapari sendiri membantu anak-anak untuk merealisasikan kesetaraan dalam hal pendidikan. Terutama pendidikan luar negeri yang selama ini hanya untuk kelas-kelas sosial tertentu.
Terutama kalangan elit. Namun Yayasan ini berjuang keras untuk penyetaraan pendidikan ke luar negeri bagi kelas sosial dan kemampuan akademik agar calon mahasiswa mampu menjalani pendidikan luar negeri.
Ketua Yapari Ilham Afandi menjelaskan, lembaga nonprofit yang didirikannya bersama para siswa SMA dan Pondok Pesantren di Kampar ini harus terseok-seok dalam mencukupi kebutuhan finansial ratusan calon mahasiswa dan mahasiswa aktif saat ini.***
Laporan HENDRAWAN KARIMAN, Bangkinang