KHARTOUM (RIAUPOS.CO) - Pemimpin de facto Sudan sekaligus panglima angkatan bersenjata Abdel Fattah al-Burhan mengumumkan gencatan senjata "sepihak" pada Selasa (27/6). Gencatan senjata ini dilakukan berbarengan dengan hari pertama libur Iduladha.
Dalam pidato yang disiarkan televisi, Burhan mengatakan seluruh dunia menyaksikan apa yang terjadi Khartoum, Ubaid, Zalin dan Nyala serta Junaynah, sebagai kejahatan pembersihan etnis dan genosida.
Menyatakan angkatan bersenjata memenuhi kewajibannya dalam melawan "konspirasi berbahaya" ini, Burhan berterima kasih kepada rakyat Sudan atas dukungannya kepada angkatan bersenjata.
Burhan mengungkapkan komandan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti yang berkonflik dengan militer sejak 15 April, ingin mendirikan kerajaan sendiri "di atas jasad dan tengkorak rakyat Sudan."
Dia menegaskan bahwa angkatan bersenjata bersedia menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil pimpinan rakyat Sudan. Dagalo juga mengumumkan gencatan senjata "sepihak" menjelang dan pada hari pertama Idul Adha.
Pada 15 April pertempuran antara militer Sudan dan RSF pecah di Khartoum dan sekitarnya. Lebih dari 600 orang tewas dan ribuan orang lainnya terluka dalam konflik Sudan. Perbedaan pendapat antara pihak-pihak bertikai mengenai integrasi RSF ke dalam militer kian meruncing dalam beberapa bulan belakangan.
Integrasi menjadi syarat utama dalam kesepakatan transisi Sudan bersama kelompok-kelompok politik. Sudan tidak memiliki pemerintahan fungsional sejak 2021 setelah militer membubarkan pemerintahan peralihan pimpinan Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan menyatakan keadaan darurat.
Langkah militer itu dikecam kekuatan-kekuatan politik di negara itu sebagai "kudeta". Masa peralihan Sudan yang dimulai Agustus 2019 setelah Presiden Omar Al Bashir dilengserkan, semula berakhir pada pemilu 2024.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman