GAZA (RIAUPOS.CO) – Kisah perjuangan Ibu di Gaza, Palestina saat melahirkan anaknya, menuai perhatian masyarakat dunia. Dikabarkan bahwa beberapa Ibu di Gaza, melahirkan secara Caesar tanpa anestesi atau obat bius.
Para ibu hamil ini dioperasi dalam sebuah fasilitas rumah sakit yang sesak dan tidak higienis. Bahkan, ada juga yang melakukan operasi di bawah reruntuhan bangunan.
Menurut Laila Direktur UNFPA (United Nation Population Fund) mengatakan bahwa, setelah prosedur operasi Caesar dilakukan, para ibu harus berjalan pulang, menuruni tangga, dan kembali menghadapi kondisi yang tidak nyaman di kamp pengungsian.
Dikutip dari jezebel.com, ada seorang wanita di Palestina bernama Raneem Hejazi yang hamil 32 minggu dan hampir terbunuh tentara Israel. Raneem ditemukan oleh tim medis di bawah reruntuhan bangunan. Tim medis Rumah Sakit Nasser melakukan operasi darurat dengan bantuan senter dari ponsel.
Dr. Mohammad Qandel, melakukan operasi darurat kepada Raneem tanpa mencuci tangan dengan air bersih atau membawa antibiotic untuk mencegah infeksi.
Pasien Dr. Mohammad Qandel, Raneem melahirkan dalam kondisi tangannya yang sudah diamputasi dan kaki yang patah akibat serangan dari Israel.
CARE International Palestine mengungkapkan, saat ini operasi darurat Caesar yang dilakukan tanpa anestesi semakin bertambah.
Hiba Tibi, Direktur CARE International Palestine menyatakan, “Apabila rumah sakit kehabisan obat bius, maka operasi akan dilakukan tanpa obat bius,”.
“Tidak hanya operasi Caesar, semua operasi akan dilakukan tanpa obat bius,” lanjut Hiba Tibi.
CARE International Palestine sendiri tidak bisa memastikan, berapa jumlah operasi Caesar yang dilakukan tanpa anestesi. Namun, mereka menjelaskan bahwa saat ini persediaan anestesi di rumah sakit memang sangat sedikit.
Operasi darurat kepada Ibu hamil terpaksa dilakukan tanpa anestesi karena untuk menyelamatkan bayi dan wanita hamil dari serangan Israel. Dilansir dari Jezebel, Ammal Awadallah seorang direktur eksekutif Palestinian Family Planning, and Protection Association (PFPPA), sedang melakukan penyelidikan.
Pihak organisasi PFPPA mengaku kesulitan untuk mendengar langsung dari staf mereka yang berada di Gaza, Palestina. Hal ini diakibatkan terputusnya arus koneksi internet dan telekomunikasi pasca Israel melakukan pemutusan telekomunikasi di Gaza.
Awadallah juga menambahkan, “Kami menyadari, sulitnya akses pengiriman obat dan pasokan medis ke Gaza, menyebabkan persediaan anestesi semakin menipis,”.
Ia juga menambahkan, “Para petugas medis di Gaza, kini dipaksa untuk membuat keputusan tentang prosedur mana yang harus diprioritaskan dalam penggunaan anestesi yang ada,”.
“Mengingat, kini persediaannya semakin menipis,” imbuhnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman