JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kekerasan seksual di tanah air sudah pada level mengkhawatirkan. Jumlah tiap tahunnya meningkat. Terakhir menurut catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ada 7.275 kasus kekerasan seksual. Salah satu tindakan yang bisa dilakukan adalah penemuan kasus sejak dini. Untuk itu, pembahasan terhadap rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) sudah harus selesai pada Agustus mendatang.
Menurut data Kementerian Kesehatan, ada 4.000 Puskesmas di Indonesia yang bisa mengidentifikasi kekerasan seksual. Sekretaris Ditjen Kesehatan Masyarakat Eni Agustina menuturkan, bahwa tenaga kesehatan di Puskesmas sudah mendapatkan pelatihan untuk mengidentifikasi kekerasan seksual. ”Menurut Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) Nomor 68 tahun 2013, tenaga kesehatan wajib lapor kepada kepolisian jika menemukan kasus kekerasan seksual,” tuturnya.
Layanan kesehatan bisa menjadi pintu untuk deteksi kekerasan seksual, selain kepolisian. Korban yang datang ke layanan kesehatan biasanya karena ada keluhan sakit secara fisik. Menurut Eni, sering kali korban diantar oleh pelaku. Sehingga hal ini menyulitkan tenaga kesehatan untuk melakukan assesment. ”Korban sebelumnya mungkin diancam sehingga tidak mau bicara ketika dokter atau perawat menanyai,” kata Eni.
Kemenkes pun telah membuat sistem penanganan korban kekerasan seksual. Mereka tidak bekerja sendiri. Kementerian Sosial dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberyaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) diajak untuk menangani kasus tersebut.
Menurutnya, korban kekerasan seksual mengalami dampak jangka panjang dan pendek. Untuk jangka pendek, korban bisa mengalami kekerasan fisik yang membuat cidera. ”Dampak jangka panjang bisa trauma dan kondisi sosialnya terganggu,” ucapnya.
Eni menambahkan, kriteria orang sehat tidak hanya secara fisik saja tetapi juga psikis dan sosialnya.
Dampak lainnya juga bisa terjadi pada anak. Maksudnya ketika kekerasan seksual yang terjadi adalah pemerkosaan dan akhirnya menyebabkan kehamilan tidak diinginkan, maka bisa berpeluang untuk menyakiti janin.
Dia mencontohkan, ada korban kekerasan seksual yang melilit perutnya agar janin tidak berkembang. Akhirnya janin tersebut lahir namun perkembangannya tidak maksimal.
Selain telah mempersiapkan sisi hilir, Kemenkes juga telah mempersiapkan pencegahan kekerasan seksual. Salah satunya dari menangkal kecanduan pornografi. Menurut Eni, pornografi bisa menjadi pintu masuk kekerasan seksual. ”Sudah ada saran rehabilitasi bagi yang kecanduan pornografi dan pelaku kekerasan seksual,” tuturnya.
Rehabilitasi tersebut biasanya dilakukan oleh psikiater atau dokter kesehatan jiwa. Eni mengatakan bahwa di beberapa pusat kesehatan jiwa sudah memiliki pusat rehabilitasi untuk mereka yang tidak bisa mengendalikan hasrat seksualnya.
Sementara itu Deputi bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) Vennetia Danes mengungkapkan, bahwa kekerasan seksual biasanya terjadi karena ada relasi kuasa. Maksudnya pelaku berkedudukan lebih tinggi dari korban. Misal guru kepada murid, ayah kepada anak, bos kepada karyawan, dan sebagainya.
”Beberapa kasus kekerasan seksual terjadi disebabkan relasi kuasa yang tidak seimbang, seperti yang terjadi kepada kaum disabilitas,” katanya.(lyn/jpg)