DUA MINGGU JELANG LENGSERĀ 

DPR Kebut-kebutan Garap RUU Kontroversial

Hukum | Senin, 16 September 2019 - 16:20 WIB

DPR Kebut-kebutan Garap RUU Kontroversial
ILUSTRASI

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Masa jabatan DPR periode 2014–2019 berakhir 30 September. Itu berarti waktu tersisa dua pekan. Hari-hari terakhir menjelang purnatugas, DPR ngotot menuntaskan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang dinilai publik masih kontroversial.

Sepekan terakhir sorotan publik terfokus kepada revisi UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kabarnya, RUU tersebut akan diparipurnakan Selasa besok (17/9).


Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, revisi tersebut bakal melemahkan KPK. Poin-poin perubahan yang dimasukkan dinilai akan berdampak pada lumpuhnya pemberantasan korupsi. ’’Publik bertanya-tanya mengapa DPR dan pemerintah begitu ngotot merevisi UU KPK,’’ kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam diskusi bertajuk Kolaborasi Membawa Bencana di Pasar Ahad, Jakarta, kemarin (15/9).

Pasal 18 B, misalnya. Tindakan penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan harus dilaksanakan atas izin tertulis dewan pengawas. Draf revisi tersebut bisa menyulitkan penyidik dalam mendapatkan izin dalam penyadapan. Apalagi, jika dalam waktu 1 x 24 jam dewan pengawas tidak mengeluarkan izin tertulis, penyidik KPK tidak bisa melakukan penyadapan. ’’Dewan pengawas dibentuk presiden. Sangat mungkin mereka (dewan pengawas, Red) tidak independen,’’ ujar Kurnia.

Selain UU KPK, ada tujuh regulasi yang didorong agar tidak buru-buru disahkan. Di antaranya, RUU Pertanahan. Peneliti Yayasan Auriga Nusantara Syahrul Fitra menyampaikan, draf RUU yang telah berumur tujuh tahun tersebut dinilai rentan menimbulkan konflik agraria. ’’RUU Pertanahan akan menyuburkan praktik perampasan tanah rakyat. Khususnya tanah ulayat dan tanah adat,’’ kata Syahrul.

Dia mencatat ada tiga pasal krusial yang masih harus dibenahi. Yaitu, pasal 12, 35, dan pasal 42. Tiga pasal tersebut memberikan ruang bagi pemerintah untuk bisa menguasai hak atas tanah di atas tanah hak ulayat dan tanah adat. Bahkan, untuk tanah hak guna usaha (HGU), penguasaannya langsung diambil alih oleh pemerintah. ’’Dalam poin ini, tidak dijelaskan bagaimana kalau tanah tempat HGU di dalamnya ada tanah masyarakat adat. Ini rentan menimbulkan konflik,’’ jelas Syahrul Fitra.

Hal lain yang menjadi sorotan adalah RUU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah menilai, revisi UU KPK dan RUU Minerba merupakan satu paket yang disepakati pascapilpres. ’’Ini adalah kompensasi para aktor politik pascapilpres,’’ kata Merah.

Indikasi itu terlihat dari hilangnya pasal 165 dalam UU Minerba yang lama. Bahwa pejabat yang mengeluarkan izin tambang bermasalah tidak termasuk dalam tindak pidana korupsi. ’’Artinya, akan ada upaya melindungi secara legal dan sah kepada koruptor sektor SDA (sumber dalam alam, Red),’’ ujarnya.

Dia juga mempermasalahkan pasal 115 yang menyebutkan bahwa apabila masyarakat menolak lahannya diberikan kepada perusahaan tambang, maka merupakan tindak pidana. Menurut dia, pasal itu bakal menjadi senjata ampuh bagi korporasi merampas tanah masyarakat. ’’Dua RUU ini, revisi UU KPK dan revisi UU Minerba, sangat berhubungan terkait tata kelola pertambangan ke depan,’’ katanya.

Sementara itu, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Agil Oktaryal mengatakan bahwa pembahasan sejumlah RUU yang kini berlangsung di DPR bisa masuk kejahatan dalam hal legislasi atau pembentukan regulasi. Sebab, pembahsannya tidak sesuai dengan ketentuan. Selain kejar tayang, itu tidak sesuai dengan tahapan UU Nomor 12/2011 tentang Peraturan Perundang-undangan. Mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, penelaahan, hingga perundangan.

Ada juga tahap monitoring dan evaluasi. Dia yakin semua proses itu tidak dilalui dalam revisi UU KPK dan RUU yang masih bermasalah. ’’Sehingga bisa disebut DPR dan pemerintah sedang melakukan kejahatan legislasi,’’ tegas Agil.

Disampaikan, pembahasan sejumlah regulasi di Baleg DPR sangat ugal-ugalan. Salah satunya, karena tidak ada organ khusus yang menangani persoalan regulasi. ’’Jika presiden menyetujui ini semua, perlu ada gerakan publik untuk menekan DPR agar tidak meneruskan pembahasan ini,’’ imbuhnya.

Sumber: Jawapos.com

Editor : Edwir
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook