Warga Ikut Bubuhkan Tanda Tangan di Spanduk

Hukum | Senin, 28 Januari 2019 - 10:01 WIB

Warga Ikut Bubuhkan Tanda Tangan di Spanduk
TANDA TANGAN: Jurnalis di Riau membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk keprihatinan dan meminta Presiden Joko Widodo mencabut kembali pemberian remisi kepada I Nyoman Susrama, terpidana kasus pembunuhan wartawan Radar Bali, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa saat aksi damai di kawasan Tugu Zapin, Pekanbaru, Ahad (27/1/2019). (MHD AKHWAN/RIAU POS)

Dalam sidang Pengadilan Negeri Denpasar 15 Februari 2010, hakim menghukum Susrama dengan vonis penjara seumur hidup. Sebanyak delapan orang lainnya yang ikut terlibat, juga dihukum dari 5 tahun sampai 20 tahun.

Lalu Presiden Jokowi, melalui Kepres No. 29 tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara tertanggal 7 Desember 2018. Susrama merupakan satu dari 115 terpidana yang mendapatkan keringan hukuman tersebut.

Baca Juga :97 Napi Terima Remisi Natal

Remisi Susrama Mirip Kasus Munir

Sementara itu polemik pemberian remisi pidana penjara sementara untuk I Nyoman Susrama, memicu kontroversi di kalangan praktisi hukum dan kemanusiaan. Kebijakan remisi kontroversial itu menambah daftar panjang ketidakjelasan arah pemerintah dalam bidang hukum.

Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar menyebut kebijakan Presidan Jokowi dalam pemberian remisi itu jelas sangat menguntungkan penjahat. Itu tentu membahayakan bagi masyarakat. Terutama bagi korban dan keluarganya yang memerlukan keadilan.

”Karakter kebijakan Jokowi (di bidang hukum, red) tidak jelas dan tidak transparan, ini membahayakan,” ujarnya, Ahad (27/1).

Haris mengambil contoh lain untuk membuktikan bahwa kebijakan pemerintahan Jokowi terkesan menguntungkan penjahat. Salah satunya, remisi bagi pelaku pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib, Pollycarpus Budihari Priyanto. Pollycarpus telah bebas murni Agustus tahun lalu setelah mendapatkan banyak remisi.

”Atau SAB anggota dewan pengawas BPJS (Ketenagakerjaan) yang diduga mencabuli sekretarisnya juga dikabulkan pengunduran dirinya oleh Presiden Jokowi,” terang Haris.

Khusus untuk kasus dewan pengawas BPJS, Haris menilai pengunduran yang disetujui Jokowi kurang tepat. Sebab, kasusnya dilaporkan ke Bareskrim dan sedang diperiksa oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Rentetan kebijakan yang kurang berpihak pada rasa keadilan itu, menurut Haris, menunjukan bahwa Presiden gagal paham soal hukum. Kegagalan itu diduga akibat dari hukum yang hanya digunakan untuk memenuhi hasrat politik Presiden dan kelompoknya.

”Perih rasanya dengan Presiden gagal paham soal hukum, dan ini sudah berulang-ulang,” paparnya.

Khusus polemik pemberian remisi untuk Susrama, Haris meminta seluruh pihak bersama-sama menjaga pilar demokrasi yang sedang dicederai negara. Menurut dia, hanya kekuatan rakyat yang bisa menyelamatkan negara ini dari ancaman tersebut.

”Pembunuh jurnalis diremisi itu seperti menyebarkan ancaman terhadap pilar demokrasi,” tegasnya.

Sebelumnya, pada Jumat (25/1), Jokowi mengaku tidak tahu detail pemberian remisi tambahan kepada Susrama. Dia minta wartawan mengonfirmasi kembali kepada Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly terkait masalah tersebut.

’’Kalau teknis begitu, tanyakan ke Menkum HAM,’’ kata Jokowi singkat. Padahal, remisi yang diterima Susrama dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No 29/2018 yang diteken Jokowi. Keppres bertanggal 7 Desember 2018 itu berisi tentang pemberian remisi berupa perubahan dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara. Susrama merupakan satu di antara 115 napi seumur hidup yang mendapat perubahan hukuman dari seumur hidup menjadi 20 tahun.(van/eko/tyo/agm/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook