Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) saat ini menjadi fokus pemerintah Indonesia, ditandai dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2022. Termasuk bagi PT PLN (Persero), sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memasok energi listrik ke seluruh penjuru negeri. Penggunaan bahan bakar fosil yang selama ini menjadi andalan perlahan terus dikurangi, bukan karena stoknya saja yang terus berkurang. Juga karena bumi kita saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Laporan: Soleh Saputra, Pekanbaru
Gundukan limbah kayu dengan tinggi 8 sampai 10 meter terlihat seluas mata memandang. Disekitar gundukan limbah itu, terlihat para pekerja yang didominasi kaum ibu sibuk menyortir potongan kayu berukuran besar yang tercampur pada serbuk-serbuk hasil gergajian kayu (sawdust). Setelah sawdust yang baru saja dibongkar dari truk dipastikan terbebas dari campuran kayu, kemudian sawdust langsung dikeruk menggunakan alat berat jenis ekskavator untuk digundukkan lagi.
Adalah PT Marella Sukses Prima, yang berada di Jalan Pasir Putih, Desa Baru Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau tempat para warga sekitar tersebut bekerja mengumpulkan dan memilah sawdust. Siapa sangka, tumpukan limbah-limbah yang sebelumnya tidak termanfaatkan dan biasanya hanya membusuk dan lapuk. Kini bisa dimanfaatkan menjadi sumber energi dan sumber rezeki. Dimana untuk sawdust dari perusahaan ini, sejak enam bulan lalu digunakan oleh PT PLN Nusantara Power Unit Pembangkit Tenayan Raya sebagai co firing atau substitusi bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang selama ini menggunakan batu bara.
Manager Keuangan PT Marella Sukses Prima Elny mengatakan, selain menerima sawdust dari masyarakat. Pihaknya juga melakukan pengolahan limbah kayu dari pabrik pengolahan palet dan masyarakat yang menjual hasil pruning tanaman disekitar rumah untuk dijadikan potongan-potongan kayu kecil (woodchip).
“Kalau dengan pabrik palet kayu, kami ada kerjasama. Jadi sisa limbah mereka kami yang mengumpulkan dan kemudian dibawa untuk diolah. Karena selama ini limbah mereka itu hanya menumpuk dan tidak termanfaatkan,” katanya.
Khusus untuk masyarakat, pihaknya membeli dalam hitungan per karung. Dimana untuk satu karung ukuran 50 kg, mereka membeli dengan harga Rp7 ribu. Untuk jenis limbah kayu yang dijual masyarakat cukup beragam, namun rata-rata adalah kayu hasil pruning yang ada disekitar lokasi rumahnya seperti kayu petai cina, akasia, karet dan kayu-kayu kecil lainnya.
“Kalau ada masyarakat yang menjual limbah kayu kami terima juga. Biasa mereka menjualnya per karung,” sebutnya.
Khusus untuk saat ini, pihaknya masih mengutamakan pengiriman sawdust ke PLTU Tenayan Raya. Sedangkan untuk woodchip, masih terus dilakukan upaya pengolahan agar sesuai dengan kebutuhan PLTU.
“Yang kami kirim ke PLTU sekarang masih sawdust, sedangkan woodchip masih terus kami olah agar sesuai standar kebutuhan PLTU. Beberapa waktu lalu, PLTU sempat menggunakan woodchip, namun saat dilakukan ujicoba hasilnya masih kurang bagus. Pihak PLTU meminta agar ukurannya lebih diperkecil lagi. Saat ini kami masih terus sempurnakan mesin pengolahan limbah kayu menjadi woodchip yang merupakan mesin hasil rakitan teknisi kami sendiri,” katanya.
Operator mengoperasikan ekskavator untuk mengumpulkan sawdust di PT Marella Sukses Prima di Jalan Pasir Putih, Selasa (5/12/2023). (MHD AKHWAN/RIAU POS)
Dalam menjalankan proses pengumpulan sawdust dan woodchip tersebut, pihaknya memperkerjakan 12 orang yang juga merupakan warga sekitar. Dimana pekerja yang direkrut rata-rata ibu rumah tangga yang sebelumnya tidak bekerja.
“Untuk pekerja pengolahan limbah kayu ini kami ambil dari warga sekitar. Sebelumnya mereka hanya dirumah, tapi karena ada permintaan sawdust kami menambah pekerja untuk dapat meningkatkan produksi,” ujar Elny seraya menceritakan bahwa awalnya perusahaan hanya memproduksi arang.
Masyarakat yang biasa menjual sawdust ke PT Marella Nifazil (39) mengatakan, merasa sangat terbantu dengan adanya pengembangan EBT menggunakan biomassa sawdust tersebut. Pasalnya, selama ini serbuk-serbuk kayu itu hanya menumpuk dilokasi tempat penggergajian kayu. Jika sudah terlalu banyak menumpuk, serbuk-serbuk itu akan dibakar begitu saja.
“Tapi sekarang serbuk-serbuk itu diambil dengan harga Rp150 ribu per satu truk colt diesel. Kami masyarakat tentunya sangat terbantu, karena selama ini limbah itu kalau sudah banyak menumpuk hanya dibakar,” sebutnya.
Karena itu, pihaknya berharap agar pengembangan EBT terus ditingkatkan. Tentunya agar limbah-limbah serbuk hasil penggergajian kayu milik masyarakat dapat terus dimanfaatkan untuk menjadi sumber penghasilan tambahan.
“Harapan kami penggunaan serbuk kayu untuk PLTU ini terus dilanjutkan. Agar serbuk kayu juga bisa terus termanfaatkan, masyarakat terbantu dan limbah juga teratasi. Karena sejak puluhan tahun lalu serbuk kayu ini tidak ada harganya dan hanya tertumpuk lalu dibakar,” harapnya.
Penggunaan Biomassa Sawdust Sebagai Substitusi Batu Bara
Pemandangan berbeda juga terlihat dipintu masuk PT PLN Nusantara Power Unit Pembangkit Tenayan Raya, atau yang juga biasa disebut Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tenayan Raya. PLTU ini berada di Jalan Ringroad 70, Kelurahan Industri, Kecamatan Tenayan Raya, Kota Pekanbaru, Riau. Jika biasanya truk-truk pengangkut batu bara yang mengantri untuk membongkar muatan, saat itu juga terdapat truk-truk bermuatan sawdust.
Jika dilihat sekilas, tidak tampak perbedaan antara truk yang bermuatan batu bara dengan sawdust. Karena bagian atas truk ditutup dengan terpal dan tingginya truk yang membatasi pandangan mata. Namun ketika truk tersebut bergerak memasuki halaman PLTU untuk menuju jembatan timbang.
Raungan suara mesin truk akan terdengar berbeda. Pasalnya, meskipun banyaknya muatan terlihat sama, namun jelas berbeda antara tonase batu bara dengan sawdust. Hal tersebut pastinya akan mempengaruhi kinerja mesin truk dan daya tahan jalan-jalan yang dilintasinya. Dari hasil penimbangan dengan jenis truk yang sama, truk bermuatan batu bara memiliki total berat 48,480 ton. Sementara truk bermuatan sawdust miliki total berat 27,025 ton.
Usai ditimbang, truk-truk tersebut akan diarahkan kebagian belakang PLTU untuk membongkar muatannya. Tidak ada perbedaan lokasi bongkar muatan antara sawdust dan batu bara. Keduanya akan dibongkar dilahan yang sama, nantinya satu unit alat beratlah yang akan mencampur antara batu bara dan sawdust sebelum kedua jenis bahan bakar tersebut dimasukkan ke boiler PLTU.
Team leader bahan bakar PT PLN Nusantara Power Unit Pembangkit Tenayan Raya Gisa Gumilang memaparkan, bahwa pihaknya sudah mulai melakukan ujicoba penggunaan biomassa untuk proses co firing atau proses substitusi bahan bakar batu bara pada PLTU dengan biomassa pada rasio tertentu sejak tahun 2019 lalu.“Kami sudah mulai uji penerapan co firing itu sejak tahun 2019. Namun dalam beberapa kali pengujian, kami belum dapat standar terkait nilai kalor dan harga biomassa nya. Untuk harga biomassa ini, tidak boleh melebihi dari harga batu bara,” katanya.
Pada awal pengujian, pihaknya menggunakan cangkang kelapa sawit. Meskipun saat itu hasil ujinya cukup bagus, namun ternyata harga cangkang kelapa sawit lebih mahal dibandingkan batu bara. Kemudian pihaknya kembali melakukan ujicoba dengan bahan lain yakni pada akhir tahun 2022 menggunakan tandan kosong buah kelapa sawit, untuk hasilnya ternyata tidak bagus.
“Kemudian kami lakukan pengujian lagi pada April 2023 menggunakan sawdust sebanyak 5 persen dari total batu bara yang diperlukan. Dimana dalam sekali pengoperasian PLTU selama 8 jam biasanya memerlukan batu bara sekitar 700 ton, kemudian sebanyak 35 tonnya kami ganti dengan sawdust. Ternyata hasilnya bagus,” sebutnya.
Setelah berhasilnya pengujian tersebut, baru pada bulan Juni kemudian ditetapkan penggunaan biomassa sawdust untuk co firing di PLTU Tenayan Raya. Selama penggunaan biomassa sekitar tujuh bulan tersebut, energi yang dihasilkan terus tercatat bagus.
“Alhamdulillah sampai detik ini tidak ada masalah, dan sudah tercipta sekitar 8 ribu GWh green. Karena kalau kami menggunakan biomassa itu, nanti akan dihitung proporsional energi dengan batu bara sehingga bisa dapat mana GWh yang biasa dihasilkan oleh batu bara dan mana GWh yang dihasilkan oleh biomassa,” sebutnya.
Petugas di PLTU Tenayan Raya memperlihatkan sawdust usai dibongkar, Kamis (7/12/2023). (MHD AKHWAN/RIAUPOS.CO)
Selama penggunaan biomassa sawdust tersebut, pihaknya juga sudah bisa menghemat hingga 8 ribu ton batu bara. Dengan berkurangnya penggunaan batu bara tersebut, secara tidak langsung juga akan menurunkan emisi.
“Dengan penggunaan biomassa, juga ada co2 yang bisa kita hindari yang juga sekaligus bisa mengurangi emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil,” ujarnya.
Kedepan, penggunaan energi bersih terus menjadi komitmen dari insan PLN Nusantara Power. Selain menggunakan biomassa, pihaknya juga kedepan akan menggunakan solar panel yang akan dipasang disekitar lokasi PLTU yang bisa menangkap sinar matahari dengan maksimal.
“Jadi kedepannya untuk lampu-lampu di kantor kami tidak perlu lagi menggunakan energi dari listrik biasa, tapi cukup dipasok melalui solar panel. Hal tersebut juga merupakan upaya untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil yang tidak bisa begitu saja terbarukan, dan rencana co firing nya juga akan kami uji lagi agar persentase nya bisa naik hingga 7 sampai 10 persen,” sebutnya.
Pihaknya berharap, dengan kehadiran co firing ini juga akan menjadi solusi untuk pemenuhan bahan bakar di PLTU. Karena pihaknya sempat mengalami kekurangan bahan bakar batu bara disaat harga batu bara diluar negeri lebih tinggi dari pada didalam negeri.
“Akibat tingginya harga batu bara diluar negeri saat itu, pemasok tidak ada yang menyuplai batu bara ke PLTU di Indonesia. Sehingga saat itu stok batu bara di PLTU sangat minim dan ada yang hanya tinggal cukup untuk satu hari, karena itu harapnya dengan co firing ini bisa mengurangi kebutuhan batu bara karena bisa menjadi substitusi,” ujarnya.
Melihat potensi yang ada di provinsi Riau yakni luasnya perkebunan kelapa sawit, pihaknya saat ini juga sedang melakukan pengujian penggunaan biomassa dari pelepah kelapa sawit. Karena selama ini pelepah kelapa sawit hanya tertumpuk dikebun dan tidak termanfaatkan.
“Tim kami sedang akan melakukan pengujian untuk penggunaan biomassa dari pelepah kelapa sawit. Jika ini berhasil, tentunya akan lebih berdampak pada banyak hal. Tidak hanya kebersihan lingkungan saja, namun juga pemberdayaan masyarakat karena bisa saja nantinya masyarakat yang melakukan pencacahan pelepah sebelum dikirim ke PLTU untuk dijadikan co firing. Dengan artian masyarakat yang menyiapkan, kami yang membeli,” katanya.
Selain itu, pihaknya juga sedang menjajaki penggunaan sampah untuk co firing. Dimana nantinya bahan bakar tersebut diberi nama Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJP), yakni bahan bakar yang sudah dipilah dan diatur persentasenya kandungan sampah organik dan anorganiknya.
“Yakni 70 persen organik dan 30 persen anorganik. Untuk di Indonesia saat ini sedang diuji coba di PLTU Suralaya di Banten,” sebutnya.
Untuk di Riau, pihaknya saat ini sedang berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Pekanbaru untuk melihat potensi sampah yang akan dijadikan bahan bakar. Pihaknya menargetkan, pada 2024 mendatang proyek ini sudah mulai dikerjakan di Pekanbaru.
“Memang untuk mewujudkan hal tersebut butuh waktu yang cukup panjang, namun seharusnya bisa lebih cepat karena sudah ada yang lebih dulu menjalankan yakni di PLTU Suralaya. Jadi kedepannya untuk jenis-jenis biomassa ini akan terus dikembangkan, banyak pengujian yang sedang dilakukan melihat bahan baku yang tersedia disekitar. Harapnya nanti limbah yang dianggap biasa-biasa saja dan tidak ada harganya kedepan bisa saja jadi ‘berlian’, “katanya.
Terkait penggunaan biomassa sebagai substitusi bahan bakar fosil, pihaknya memiliki komitmen untuk terus meningkatkannya. Selain untuk menjaga kelestarian lingkungan, juga harus lebih banyak masyarakat yang terberdayakan.
“Kami akan tetap mendukung programnya coorporate dan pemerintah terkait dengan pengurangan karbon dioksida dan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT). Selain karena memang bumi kita sudah tidak baik-baik saja, namun juga memenuhi kontrak kinerja. Kedepan kami berharap, dengan langkah penerapan co firing ini, bumi kita tetap terjaga, energi tersedia dan masyarakat yang terberdayakan juga sejahtera,” harapnya.
Pentingnya Mengurangi Emisi di Bumi
Pengamat lingkungan yang juga Wakil Dekan III Fakultas Kehutanan dan Sains Universitas Lancang Kuning, Dodi Sukma RA S.Hut Msi mengatakan, dampak dari emisi yang berlebihan akan menyebabkan pemanasan global di mana suhu di bumi akan naik secara signifikan yang ditandai dengan hal-hal antara lain mencairnya es di kutub, rusaknya ekosistem, naiknya ketinggian permukaan air laut dan perubahan iklim yang cukup ekstrim. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, banyak populasi makhluk hidup yang akan musnah.
"Akibat lainnya yakni musim tidak bisa di prediksi lagi, tanaman tidak dapat tumbuh maksimal sehingga penyimpanan air juga tidak ada. Ketika musim kemarau akan sangat kering, jadi hewan-hewan dan tumbuhan akan sangat terpengaruh," ujarnya.
Untuk di Riau, penyebab emisi yakni dari Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), kemudian juga penggunaan bahan bakar fosil untuk industri dan transportasi. Akibat besarnya dampak dari emisi tersebut, menurutnya perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan agar tidak terus meningkat.
"Upaya yang dapat dilakukan yakni dengan menciptakan energi baru terbarukan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil,” pungkasnya.
Editor: Eka G Putra