TRAGEDI SARPAN, SAKSI PEMBUNUHAN YANG BABAK BELUR DI TAHANAN POLSEK

Saya Dipukul, Diinjak, Disetrum, Disuruh Mengaku sebagai Pembunuh

Hukum | Minggu, 12 Juli 2020 - 11:26 WIB

Saya Dipukul, Diinjak, Disetrum, Disuruh Mengaku sebagai Pembunuh
Sarpan saat dibebaskan setelah ditahan selama lima hari di Polsek Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Senin (6/7/2020).Polsek Percut Sei Tuan for JPG

Kapolsek dicopot dan delapan personel Polsek Percut Sei Tuan, Deli Serdang pun menjalani sidang disiplin. Tapi, ada yang menganggap itu tak cukup karena penyiksaan Sarpan sudah merupakan tindak pidana.

(RIAUPOS.CO) - SARPAN selamanya akan berterima kasih kepada para tetangga. Berkat intervensi mereka, dia akhirnya lepas dari hari-hari penuh penyiksaan di dalam tahanan polisi. Pria 57 tahun itu dibebaskan 6 Juli lalu setelah sejumlah warga berunjuk rasa di Polsek Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.


Para warga itu tetangganya di Jalan Sidomulyo Pasar IX, Dusun XIII, Desa Sei Rotan, Kecamatan Percut Sei Tuan. ”Mereka berdemo lantaran mendapat keterangan dari istri saya yang melihat saya di sel tahanan sudah dalam keadaan luka-luka di bagian wajah,” kata Sarpan kepada Sumut Pos (RGP).

Sarpan memang menderita luka memar di sekujur tubuh dan wajah sekeluarnya dari tahanan. Di dalam tahanan, dia mengaku disiksa, dipukul, dan diinjak-injak. Wajahnya sampai babak belur. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai kuli bangunan itu diperiksa polisi pada Kamis (2/7) pekan lalu dengan status saksi.

Pembunuhan tersebut terjadi di Jalan Sidomulyo Gang Gelatik, Desa Sei Rotan, Kecamatan Percut Sei Tuan. ”Ternyata, sewaktu di dalam sel tahanan disiksa dan diintimidasi dengan disuruh mengaku jika telah membunuh Dodi Somanto,” lanjutnya.

Padahal, Sarpan justru saksi dari pembunuhan terhadap pria 41 tahun tersebut. Polisi akhirnya juga menangkap si pelaku sebenarnya, A. Pria 27 tahun itu merupakan anak pemilik rumah tempat dia bekerja sebagai kuli bangunan. ”Saya sudah seperti ’binatang’ di dalam sel tahanan,” kenang Sarpan.

Bahkan, saat diinterogasi, dia dituding telah berselingkuh dengan pemilik rumah dan ketahuan oleh Dodi Somanto. ”Dari itu, polisi mengira saya yang membunuh si korban. Padahal, tudingan itu tidaklah benar,” terangnya.

Setelah kasus penyiksaan yang dialami Sarpan itu, Kapolsek Percut Sei Tuan Komisaris Polisi Otniel Siahaan dicopot. Selain itu, Kanitreskrim Polsek Percut Sei Tuan Iptu Luis Beltran turut diperiksa dalam kasus tersebut.

Sebagai pengganti Kapolsek, sementara ditunjuk AKP Ricky Pripurna Atmaja yang sebelumnya menjabat Kanit Pidum Polrestabes Medan. ”Iya benar, Kapolsek (Percut Sei Tuan, red) diserahterimakan,” kata Kabidhumas Polda Sumatera Utara Komisaris Besar Polisi Tatan Dirsan Atmaja Kamis (9/7).

Dia mengatakan bahwa hingga saat ini yang bersangkutan masih diperiksa Bidang Propam Polda Sumatera Utara. Sanksi disiplin dan etik menunggu. ”Kita tunggu lah hasilnya, ya,” ujar Tatan.

Selain mencopot Kapolsek, Polda Sumut menarik delapan personel polisi dari Polsek Percut Sei Tuan ke Polrestabes Medan dalam rangka proses sidang disiplin. Sarpan mengaku dipukul bertubi-tubi selama ditahan. Dia juga mengaku disetrum.

”Setelah itu, dari belakang ada beberapa orang menutup mata dan mulut saya, kemudian langsung memukuli di bagian dada dan perut serta diinjak-injak orang yang di dalam tahanan,” jelasnya sambil menangis.

Atas peristiwa itu, Sarpan mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, dia benar-benar tidak mengetahui mengapa dirinya disiksa. Atas kebrutalan yang dialami Sarpan itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menganggap kasus tersebut tidak selayaknya hanya berhenti pada pemberian sanksi disiplin maupun sanksi etik kepada semua yang terlibat.

Sebab, perbuatan para oknum polisi tersebut jelas merupakan tindak pidana sehingga menjadi wajar jika mereka dijatuhi sanksi pidana. ”Pemberian sanksi yang tegas dalam kasus penyiksaan yang dilakukan aparat sipil negara perlu dilakukan untuk menunjukkan adanya akuntabilitas, khususnya dalam hal ini pada institusi kepolisian.” Demikian rilis resmi ICJR seperti dikutip dari situs resmi ICJR.

ICJR dalam penelitiannya pada 2019 juga menemukan bahwa dugaan penyiksaan bahkan terjadi dalam kasus-kasus yang terdakwanya diancam atau dijatuhi hukuman mati. Dalam penelitian mengenai penerapan fair trial dalam kasus hukuman mati tersebut, ICJR mengulas salah satu kasus yang sempat gempar pada 2016, yakni kasus Yusman Telaumbanua.

Yusman mengalami penyiksaan saat penyidikan untuk dipaksa mengaku telah berusia dewasa dan sebagai pelaku utama kasus pembunuhan. Pengakuan tersebut sempat dijadikan alat bukti dalam menjatuhkan hukuman mati terhadap Yusman di Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Nias. Mahkamah Agung kemudian membatalkan vonis tersebut.

ICJR menemukan setidaknya 23 dugaan penyiksaan lainnya dalam kasus hukuman mati dengan pola yang sama, yakni oknum penyidik melakukan intimidasi dan penyiksaan secara fisik maupun psikis untuk mengejar pengakuan. Ironisnya, dugaan penyiksaan tersebut sangat sulit dibuktikan dalam persidangan karena tidak ada mekanisme pembuktian yang jelas diatur dalam hukum acara pidana.

Tatan menyebutkan, Kapolda Sumut Irjen Pol Martuani Sormin akan memberikan reward bagi anggota yang berprestasi. ”Tapi, juga akan menindak anggota yang melakukan kesalahan,” ujarnya.

Sarpan memang akhirnya bisa pulang berkat unjuk rasa para tetangga. Dibutuhkan waktu tidak sebentar untuk memulihkan luka-lukanya. Dan, pasti perlu waktu lebih lama lagi untuk mengenyahkan traumanya.(*/Mag-1/c10/ttg/das)

Laporan JPG, Medan

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook